Oleh : Afdhol Abdul Hanaf
A. UNSUR-UNSUR
BUDAYA DALAM MASYARAKAT PEDUKUHAN PERENG DESA SENDANGSARI PENGASIH KULON PROGO
Di dalam tulisan
ini, kelompok kami akan menyampaikan tujuh unsur budaya yang ada di pedukuhan
Pereng desa Sendangsari kecamatan Pengasih kabupaten Kulon Progo. Dipilihnya
tempat ini karena memang kebudayaan yang ada masih begitu kental dengan budaya
jawa. Di antara unsur-unsur budaya tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kesenian
Berbagai macam kesenian di
pedukuhan pereng ini begitu bervariasi, di antaranya kesenian jathilan, angguk,
panjidur, wayang, kethoprak, klonengan dan lain sebagainya. Kesenian jathilan
lebih tenar disebut sebagai kesenian kuda lumping. Sedangkan kesenian angguk
dan panjidur merupakan seni tari yang dilakukan oleh sekitar 10 orang. Biasanya
penari panjidur maupun angguk ini berjenis kelamin perempuan. Sedangkan
klonengan merupakan seni musik yang mana alat musiknya menggunakan alat musik
jawa seperti gong, kendang, dan lain-lain.
b. Religi
Kondisi keagamaan di
pedukuhan pereng ini masih terbilang kental dengan apa yang diajarkan oleh
Walisongo. Bahkan makam sunan Gesing pun berada di desa ini, sehingga tidak
mengherankan apabila ajaran-ajaran walisongo masih begitu kental untuk
dilaksanakannya. Yang dimaksud dengan ajaran-ajaran tersebut adalah yasinan,
tahlilan, tingkep, midodareni, mendhak, meling, nyewu, dan lain sebagainya.
c. Mata Pencaharian
Mata pencaharian di dusun
Pereng desa Sendangsari ini kebanyakan bekerja sebagai petani dan pedagang.
Tanaman yang sering ditanam adalah padi, jagung, kacang, singkong, dan
lain-lain. Sedangkan untuk pedagangnya banyak juga yang berdagang sayur-sayuran,
buah-buahan, maupun berdagang ayam.
d. Peralatan Hidup
Peralatan-peralatan yang ada
di desa ini meliputi cangkul, sabit, dan serit untuk bertani, kendang, gong,
dll untuk keseniannya. Sedangkan untuk peralatan masaknya masih cenderung
menggunakan bahan-bahan yang berasal dari batu maupun tanah liat, seperti
cobek, munthu, keren, dan lain sebagainya.
e. Organisasi Sosial
Organisasi sosial yang ada
di dusun pereng ini cukuplah memvasilitasi masyarakatnya. Di antara
organisasi-organisasi tersebut adalah kelompok bapak-bapak, kelompok ibu-ibu,
dan kelompok karang taruna. Untuk kelompok bapak-bapak ini biasanya berkumpul
pada malam jum’at kliwon dengan melakukan dzikir bersama (tahlilan) dan arisan.
Untuk kelompok ibu-ibu berkumpul setiap dua minggu sekali dan dilaksanakan pada
hari minggu. Sedangkan untuk kelompok karang taruna ini beranggotakan
pemuda-pemuda yang ada di pedukuhan pereng yang mana karang taruna ini
bernamakan Persendhe. Pertemuan anggota persendhe ini dilakukan setiap dua
minggu sekali pada malam minggu.
f. Sistem Pengetahuan
Untuk sistem pengetahuan di
dusun pereng belum begitu memuaskan. Hanya ada 3 lembaga yang mengembangkan
pendidikan di dusun ini. Lembaga-lembaga tersebut adalah Pendidikan Paud, Taman
Kanak-Kanak (TK), dan Sekolah Dasar (SD). Sedangkan untuk TPA-nya sudah tidak
berjalan lagi. Kegiatan-kegiatan TPA hanya dilaksanakan pada saat bulan
Ramadhan.
g. Bahasa
Bahasa yang digunakan di
dusun pereng lebih dominan menggunakan bahasa jawa. (basa ngoko, basa karma, dan
karma inggil)
PERBEDAAN DEFINISI SENI BUDAYA ISLAM MENURUT QURAISY
SHIHAB DAN SAYYED HUSSEIN NASR
a. Seni Budaya Islam menurut Quraisy Shihab
Seni
budaya Islam dipandang dari sisi kelebihannya adalah ekspresi tentang keindahan
wujud dari sisi pandangan islam tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar
menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan (sesuai cetusan
fitrah).[1]
Sedangkan kekurangan dari pengertian yang disampaikan oleh Quraisy Shihab
adalah bahwa pengertian ini memberikan keleluasaan yang mengakibatkan batasan
antara yang boleh dengan yang tidak boleh masih samar dan tidak bisa
ditentukan.
b. Seni Budaya Islam menurut Sayyed Hussein Nasr
Seni budaya
Islam dipandang dari sisi kelebihannya adalah keahlian mengekspresikan ide dan
pemikiran estetika dalam penciptaan benda, suasana, ataupun karya yang mampu
menimbulkan rasa indah dengan berdasar dan merujuk pada Al-Qur’an dan Assunnah.[2]
Sedangkan kekurangan dari definisi yang disampaikan oleh Sayyed Hussein Nasr
ini adalah bahwa beliau hanya merujuk kepada Al-Qur’an maupun Assunnah saja,
padahal seni Islam bukan hanya bersumber pada kedua sumber utama agama islam
saja, akan tetapi juga berkaitan erat dengan seni budaya yang berkembang di
suatu masyarakat.
Dari
perbandingan pemikiran Quraisy Shihab dan Sayyed Hussein Nasr mengenai seni
budaya islam, dapat disimpulkan bahwa di pedukuhan Pereng desa Sendangsari
Pengasih Kulon Progo ini lebih dekat dengan definisi yang disampaikan oleh
Sayyed Hussein Nasr dan Quraisy Shihab. Hal ini dibuktikan dengan adanya
yasinan, dzikir bersama (tahlilan), tingkep, dan lain sebagainya. Walaupun
memang semua itu merupakan suatu ide dan pemikiran yang ada di masyarakat (berkat walisongo), akan tetapi
kegiatan-kegiatan itu pun juga tidak ada aturan langsung yang ada di dua sumber
utama umat islam, yaitu Al-Qur’an dan Assunnah. Di samping itu dengan adanya
kesenian panjidur, angguk, jathilan dan lain sebagainya membuktikan adanya
kesenian dan kebudayaan yang tidak bertumpu pada Al-Qur’an maupun Assunnah.
[1] M.
Quraish Shihab, “Islam dan Kesenian”, dalam Jabrohim dan Saudi Berlian (ed), Islam dan Kesenian, (Yogyakarta: MKM UAD
Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, 1995), hlm. 7 dan 193.
[2] Seyyed
Hossein Nasr, “Spiritualitas dan Seni Islam”, terj. Sutejo, Islamic Art and Spirituality, (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 14.
No comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Tinggalkan Pesan