Rouf 'Azmi Lanjut Baca [kepemimpinan transaksional] | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Wednesday 3 February 2010

Lanjut Baca [kepemimpinan transaksional]

Baca Paragraf Sebelumnya: Klik Disini
  1. Kepala sekolah transaksional memotivasi guru dan staf dalam arah dan tujuan yang ditetapkan. Kepala sekolah juga menjelaskan persyaratan peran dan tugas
  2. Kepemimpinan kepala sekolah transaksional didasarkan pada transaksi atau pertukaran sesuatu yang bernilai.
  3. Gaya kepemimpinan kepala sekolah transaksional menggunakan logika kerja kontraktor (kontraktor memberikan layanan sesuai dengan nilai yang mereka beli atau terima)
  4. Kepala sekolah transaksional hanya bekerja dengan baik ketika dia , guru, dan stafnya memahami dan sepakat terhadap tugas-tugas penting yang harus dilakukan
  5. Kepala sekolah transaksional mendorong guru dan stafnya melakukan tugas-tugas apapun dari organisasi sekolahnya (kepala sekolah sering menjanjikan imbalan bagi yang mampu mencapai keluaran diluar dugaan bersama)
  6. Kepala sekolah transaksional digunakan untuk tujuan mencapai tingkat yang lebih tinggi, antara lain membujuk dan staf walaupun keyakinan dan tujuan mereka biasanya tidak berubah
  7. Kepala sekolah transaksional aktif dalam gaya manajemen untuk memastikan bahwa guru dan staf yag dipimpinnya tidak menyimpang dari peraturan, jika sebaliknya dia akan mengambil tindakan
  8. Kepala sekolah transaksional menjalankan manajemen dengan pengecualian (management by exception), bahkan adakalanya melakukan guru dan stafnya seperti tampak tidak peduli sampai ketika standar benar-benar tidak terpenuhi atau berperilaku pasif
  9. Kepala sekolah transaksional menghindari tindakan pembuatan keputusan yang bersifat laizzes faire dan tidak mencerminkan tanggung jawab dirinya sebagai guru dan staf.

Bass dan Avolio yang dikutip oleh Raihani, mengungkapkan ada 3 faktor yang tercakup dalam kepemimpinan transaksional, yaitu:  
  1. Penghargaan, yakni proses transaksi anatara pemimpin dan bawahan dimana pemimpin memberikan penghargaan kepada pengikut atas kerja-kerja mereka.
  2. Manajemen pengecualian aktif, yakni mengacu pada proses intervensi dimana pemimpin memonitor secara langsung kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan yang dilakukan bawahan serta mengambil langkah korektif
  3. Manajemen pengecualian Pasif, yakni mengacu pada situasi dimana seorang pemimpin hanya mengambil langkah korektif ketika standar tidak dipenuhi oleh bawahan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan jika seorang pemimpin mengadopsi model transaksional:
  1. Pemimpin transaksional harus memahami apa yang memotivasi karyawan mereka
  2. Pastikan karyawan memahami sistem penghargaan dan bagaimana mereka dapat mencapai penghargaan
  3. Pastikan bahwa baik sistem imbalan maupun sistem hukuman akan secara konsisten dijalankan
  4. Memberikan umpan balik konstruktif atas seluruh proses kerja
  5. Pastikan bahwa penghargaan dan pengakuan akan diberikan secara tepat waktu

Hoover dan Leitwood menjelaskan secara skematis model kepemimpinan transaksional sebagai berikut:

Gambar diatas menunjukkan bahwa bawahan dipersepsi sebagai manusia yang berupaya menghindari pekerjaan apabila ada kesempatan sehingga apabila dibiarkan mereka merasa senang tanpa tanggung jawab. Pemimpin harus senantiasa mengontrol, mengarahkan, dan bila perlu memberikan ancaman dalam upaya untuk memaksa individu menjadi produktif. Para pemimpin transaksional percaya bahwa orang cenderung lebih senang diarahkan, menjadi pekerja yang ditentukan prosedurnya dan pemecahan masalahnya daripada memikul sendiri tanggungjawab atas segala tindakan dan keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, para bawahan pada iklim transaksi tidak cocok diserahi tanggung jawab merancang pekerjaan secara inisiatif atau pekerjaan yang menuntut prakarsa.

2. Kepemimpinan Transformasional
Istilah transformasi berinduk dari kata to transform, yang bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Misalnya mentransformasikan visi menjadi realita, potensi menjadi aktual, dan sebagainya. Transformasional mengandung makna sifat-sifat yang dapat mengubah sesuatu menjadi bentuk lain, misalnya mengubah motif berprestasi menjadi prestasi riil. Dengan demikian, seorang kepala sekolah disebut menerapkan kaidah kepemimpinan transformasional jika dia mampu mengubah energi sumber daya, baik manusia, instrumen, maupun situasi untuk mencapai tujuan reformasi sekolah. 

Pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang memiliki wawasan jauh kedepan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini tetapi dimasa yang akan datang. Pemimpin transformasional merupakan agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yakni memberikan peran mengubah sistem kearah yang lebih baik. Pemimpin transformasional juga berusaha memberikan reaksi yang menimbulkan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai pelopor dan pembawa perubahan.

Teori tentang kepemimpinan transformasional didasarkan pada ide Burns, yakni perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional. Melalui kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan kepada pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang  awalnya diharapkan dari mereka. Menurut Bass yang dikutip oleh Abd. Kadim Masaong, pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut dengan membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan organisasi, dan mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi. Sebaliknya, kepemimpinan transaksional melibatkan sebuah proses pertukaran yang dapat menghasilkan kepatuhan pengikut akan permintaan pemimpin tetapi tidak mungkin menghasilkan antusiasme dan komitmen terhadap sasaran tugas. 

Bass dan Avolio yang dikutip oleh Raihani, mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses dimana pemimpin mengambil tindakan-tindakan untuk meningkatkan kesadaran rekan kerja mereka tentang apa yang benar dan apa yang penting, untuk meningkatkan kematangan motivasi rekan kerja mereka serta mendorong mereka untuk melampaui minat pribadi mereka demi mencapai kemaslahatan kelompok, organisasi, atau masyarakat. 

Yammarino, Dubinsky, & Splanger yang dikutip oleh Raihani, menyatakan bahwa fokus kepemimpinan transformasional adalah komitmen dan kapasitas anggota organisasi.  Seperti yang diungkapkan oleh Bass, bahwa komitmen dan kapasitas yang semakin bertambah dianggap dapat menghasilkan usaha dan produktivitas yang lebih besar, dan akan menjadi outcome yang diharapkan oleh sebuah organisasi.

Kepemimpinan transformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan penghargaan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan pertumbuhan organisasi.

Burns yang dikutip oleh Sudarwan Danim, berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah suatu proses dimana pemimpin dan pengikutnya merangsang diri satu sama lain bagi penciptaan level tinggi moralitas dan motivasi yang dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi bersama mereka. Gaya kepemimpinan ini akan mampu membawa kesadaran pengikut dengan memunculkan ide produktif, hubungan yang sinergikal, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama, dan nilai moral. 

Covey dan Peters yang dikutip oleh Abd. Kadim Masaong, mengungkapkan bahwa seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistis tentang bagaimana organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarannya telah tercapai. Ini yang menegaskan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mendasarkan pada cita-cita dimasa depan. 

Pola kepemimpinan transformasional memiliki penekanan dalam hal visi dan misi yang jelas, penggunaaan komunikasi secara efektif, pemberian rangsangan intelektual, serta perhatian pribadi terhadap pemasalahan individu anggota organisasinya.  Transformasi esensinya adalah mengubah potensi menjadi energi nyata. Kepala sekolah yang mampu melakukan transformasi kepemimpinan berarti dapat mengubah potensi institusinya menjadi energi untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar siswa. Dengan demikian, kepemimpinan transformasional kepala sekolah dapat diartikan sebagai gaya yang diterapkan kepala sekolah dalam mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. 
Kepemimpinan transformasional memiliki ciri dominan, yaitu:
  1. Memiliki sensitivitas terhadap pengembangan organisasi
  2. Mengembangkan visi bersama antar komunitas organisasi
  3. Mendistribusikan peran kepemimpinan
  4. Mengembangkan kultur sekolah
  5. Melakukan usaha-usaha restrukturisasi di sekolah

Menurut Yukl yang dikutip oleh Mulyono, ciri pemimpin transformasional yaitu: 
  1. Mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil pekerjaan
  2. Mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan tim/organisasi
  3. Mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi


Menurut Bass dan Avilio yang dikutip oleh Raihani, ada 5 faktor yang tercakup dalam kepemimpinan transformasional, yaitu: 
  1. Atribut yang ideal, yakni mengacu pada pemimpin yang bertindak sebagai model yang kuat untuk pengikutnya.
  2. Perilaku yang ideal, yaitu mengacu pada tingkat sejauh mana pemimpin menunjukkan perilaku yang mendorong rekan kerjanya agar memiliki visi dan tujuan yang sama, untuk mendukung pemimpin, dan membangun tingkat kepercayaan yang tinggi
  3. Motivasi inspiratif, yakni mengacu pada seorang pemimpin yang mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi kepada pengikutnya.
  4. Simulasi intelektual, yakni perilaku seorang pemimpin yang menstimulasi bawahannya agar kreatif dan inovatif
  5. Konsiderasi yang diindividualisasikan, yakni mengacu pada perilaku seorang pemimpin yang menciptakan suasana dimana kebutuhan individual pengikut diperhatikan pemimpin

Kepemimpinan transformasional menurut Sergiovanni yang dikutip oleh Raihani, memiliki 5 tuntutan kepemimpinan, yaitu: 
  1. Tuntutan teknis, mencakup teknik-teknik manajemen yang sehat.
  2. Sumber daya manusia, mencakup pemanfaatan potensi sosial dan interpersonal dari sekolah, yakni sumber daya manusianya.
  3. Edukasional, menunjukkan pengetahuan yang baik tentang pendidikan dan persekolahan
  4. Simbolik, memberi tekanan dan contoh pada tujuan dan sikap
  5. Kultural, yakni mendefinsikan, menguatkan, mengartikulasikan nilai-nilai hidup, kepercayaan, dan kultur yang memberikan identitas pada sekolah dari waktu ke waktu

Bass mengemukakan model transformasional seperti gambar dibawah ini:



3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
a. Definisi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah berasal dari 3 kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Oleh karena itu, MBS dapat diartikan sebagai penggunanan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran.

Manajemen Berbasis Sekolah adalah salah satu model desentralisasi yang diterapkan dalam manajemen persekolahan. MBS diharapkan menumbuhkan kreativitas dan pemberdayaan kemampuan semua sumber demi tercapainya kemandirian. Pada MBS terkandung nilai prakarsa, kreativitas, pemberdayaan, partisipasi, dan kemandirian. 

Syamsuddin yang dikutip oleh Engkoswara, menjelaskan bahwa MBS merupakan salah satu alternatif pengelolaan sekolah dalam kerangka desentralisasi dalam bidang pendidikan yang memungkinkan adanya otonomi yang luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi agar sekolah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas, kebutuhan, dan potensi setempat. 
MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Secara sederhana, MBS dapat didefinisikan sebagai desentralisasi kewenangan pembuatan  keputusan pada tingkat sekolah. Pembuatan keputusan marupakan inti dari keseluruhan proses dan substansi tugas manajemen sekolah. 

Dengan demikian MBS dapat didefinisikan sebagai suatu model desentralisasi dalam bidang pendidikan yang memberi otonomi untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi manajemen partisipasif pada tingkat sekolah sesuai standar nasional pendidikan yang didasari potensi, prakarsa, dan prioritas agar tumbuh kemandirian sekolah.

b. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah
  1. Otonomi, Memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk mengembangkan prakarsa sesuai potensi dan prioritas yang diinginkan, karena sekolah yang paling tahu permasalahan dan kebutuhannya sendiri.
  2. Pemberdayaan, Dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi manajemen hendaknya dapat mempartisipasikan seluruh komponen agar semua potensi dapat diberdayakan secara optimal..
  3. Kemandirian, MBS menginginkan sekolah tidak bergantung sepenuhnya kepada pusat untuk memutuskan berbagai persoalan teknis yang dihadapi sekolah..
  4. Fleksibilitas, MBS memungkinkan sekolah mengatur secara fleksibel hal-hal yang berkaitan dengan manajemen sekolah dengan tidak keluar dari kebijakan nasional.

c. Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
  1. Partisipasi, Hal ini penting untuk meningkatkan rasa memiliki, peningkatan rasa memiliki akan meningkatkan rasa tangggung jawab, dan peningkatan tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi/kontribusi.
  2. Transparansi, Manajemen sekolah dilaksanakan secara transparan dan mudah diakses anggota. Manajemen memberikan laporan secara kontinu sehingga stakeholders dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah.
  3. Akuntabilitas, Sekolah harus mempertanggung jawabkan aktivitas penyelenggaraan sekolah dengan melakukan manajemen sebaik mungkin.
  4. Profesionalisme, Mencapai kemandirian dengan tingkat prakarsa dan kreativitas yang tinggi memerlukan profesionalisme dari semua komponen personil, baik jajaran manajemen, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya, maupun komite sekolah.
  5. Memiliki wawasan kedepan, Memiliki wawasan kedepan berupa visi, misi, dan strategi kearah pencapaian mutu pendidikan.
  6. Sharing authority, Berpijak pada kekuatan kerja tim yang solid.
d. Karakteristik Mananjemen Berbasis Sekolah 
Bailey yang dikutip oleh Sudarwan Danim,  menyimpulkan beberapa karakteristik ideal Manajemen Berbasis Sekolah dan karakteristik ideal sekolah untuk abad ke-21, yaitu: 
  1. Adanya Keragaman dalam Pola Penggajian Guru, Istilah populernya adalah pendekatan prestasi (merit system) dalam hal penggajian dan pemberian aneka bentuk kesejahteraan material lainnya.
  2. Otonomi Manajemen Sekolah, Sekolah menjadi sentral utama manajemen pada tingkat strategis dan oprasional dalam kerangka penyelenggaraan program pendiidkan dan pembelajaran.
  3. Pemberdayaan Guru Secara Optimal, Karena sekolah harus berkompetisi dan membangun mutu dan membentuk citra dimasyarakat, para guru harus diberdayakan dan memberdayakan diri secara optimal bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang bermakna.
  4. Pengelolaan Sekolah Secara Parsitipatif, Kepala sekolah harus mampu bekerja dengan dan melalui seluruh komunitas sekolah agar masing-masingnya dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi secara baik dan terjadi transparansi pengelolaan sekolah.
  5. Sistem yang Didesentralisasikan, Dibidang penganggaran misalnya, pelaksanaan MBS mendorong sekolah-sekolah siap berkompetisi untuk mendapatkan dana dari masyarakat atau dari pemerintah secara kompetitif dan mengelola dana itu dengan baik.
  6. Sekolah dengan Pilihan atau Otonomi Sekolah dalam Menentukan Aneka Pilihan, Program akademik dan nonakademik dapat dikreasikan oleh sekolah sesuai dengan kapasitasnya dan sesuai pula dengan kebutuhan masyarakat lokal. Nasional, atau global.
  7. Hubungan Kemitraan antara Dunia Bisnis dan Dunia Pendidikan, Hubungan kemitraan ini bukan hanya untuk keperluan pendanaan, tetapi juga untuk kegiatan praktik kerja dan program pembinaan dan pengembangan lainnya.
  8. Akses Terbuka bagi Sekolah untuk Tumbuh Relatif Mandiri, Perluasan kewenangan yang diberikan kepada sekolah memberikan ruang gerak untuk memberikan keputusan inovatif dan mengkreasi program demi peningkatan mutu sekolah.
  9. Pemasaran Sekolah Secara Kompetitif, Tugas sekolah adalah menawarkan produk unggulan atau jasa. Jika sekolah sudah mampu membangun citra mutu dan keunggulan, lembaga itu akan mampu beradu tawar dengan masyarakat, misalnya berkaitan dengan jumlah dana yang akan ditanggung oleh penerima jasa layanan.


B. Perbedaan Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional
Ada beberapa perbedaan esensial antara kepemimpinan transaksional dan transformasional yang disajikan berikut ini: 

Meskipun ada beberapa perbedaan esensial antara kedua jenis perilaku kepemipinan tersebut, perbedaan itu bukan atas dasar tujuan yang dikehendaki, tetapi pada perilaku, dimana yang satu ke arah transaksi dan yang lain mengedepankan arah transformasi. Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo, sedang kepemimpinan transformasional melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan transformasional dapat dikatakan berupaya menggiring SDM kearah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah. Kepemimpinan transformasional lebih memotivasi bawahan untuk berbuat lebih dari apa yang sesungguhya diharapkan. Dengan meningkatkan pemahaman bawahan akan arti penting dan nilai tugas, akan mendorong mereka untuk berkorban demi kepentingan organisasi dan menaikkan ke taraf yang lebih tinggi, seperti aktualisasi diri.

C. Implementasi Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dalam kerangka implementasi manajemen sekolah berbasis MBS, kepemimpinan kepala sekolah secara transformasional akan mendorong tumbuhnya perilaku manajemen kekepalasekolahan secara partispatif sebagaimana dipersyaratkan dalam konsep MBS.  
Kepemimpinan transformasional digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang mampu memotivasi karyawan sehingga dapat berkembang dan mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan transformasional perlu diadopsi kedalam kepemimpinan Kepala sekolah, khususnya dalam rangka menunjang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hal ini dikarenakan ciri-ciri kepemimpinan transformasional sejalan dengan gaya manajmen model MBS. Pertama, adanya kesamaan yaitu jalannya organisasi tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama. Kedua, para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi dan bukan kepentingan  pribadi. Ketiga, adanya partisipasi aktif dari bawahan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kepala sekolah dalam menerapkan kepemimpinan transformasional pada era MBS, yakni: 
  1. Kepala sekolah harus mengembangkan visi sekolah secara jelas, seluruh stakeholder dan tertama anggota dewan sekolah harus dilibatkan dalam perumusan visi
  2. Kepala sekolah harus mengajak stakeholder untuk membangun komitmen dan kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai visi, misi, dan tujuan pendidikan
  3. Kepala sekolah harus lebih banyak berperan sebagai pemimpin dari pada sebagai bos yang didasarkan atas kekuasaan. 

Seperti ditulis oleh Barnett, Mc cormick, dan Conners yang dikutip oleh Sudarwan Danim, studi kekinian mengenai dampak kepemimpinan transformasional yang pernah dilakukan oleh Leithwood, Dart, Jantzi, dan Steinbech (1993), dan Silins (1994) dimana hasil studi itu memberi kesan bahwa gaya kepemimpinan transformasional mengontribusi pada inisiatif-inisiatif restrukturisasi, dan menurut apa yang dirasakan oleh guru, hal itu memberi sumbangsih bagi perbaikan perolehan belajar pada siswa. Inisiatif restrukturisasi ini menjadi salah satu persyaratan utama perubahan manajemen sekolah dari format konvensional ke format MBS. Walau bagaimanapun, kontribusi ini dimediasi oleh orang lain, peristiwa, dan faktor-faktor organisasi seperti komitmen guru, kepuasan kerja guru, praktek pembelajaran atau kultur sekolah. Hasil studi ini membuktikan bahwa komitmen guru, kepuasan guru dalam bekerja, dan kultur sekolah memberikan efek yang positif bagi inisiatif restrukturisasi organisasi sekolah dan perbaikan pemerolehan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, kepemimpinan transformasional memiliki fokus transformasi pada guru sebagai ujung tombak pembelajaran.

Kultur sekolah yang positif diasosiasikan dengan motivasi dan prestasi siswa yang tinggi, meningkatkan kolaborasi antar guru, dan mengubah sikap guru terhadap pekerjaannya kedepan menjadi positif.  Pembelajaran diruang kelas, apakah atraktif atau monoton, kondusif atau distortif, menyenangkan atau membosankan, dan sebagainya, sangat ditentukan oleh kemampuan guru bersikap positif terhadap tugasnya. Sikap positif guru diruang belajar tidak berdiri sendiri, tetapi antara lain disumbang oleh gaya kepemimpinan transformasional Kepala Sekolah.

Kultur yang dimaksud disini adalah produk ranah berpikir, afeksi, dan aksi-aksi motorik yang tereplika pada kehidupan sekolah dan bermaslahat bagi perbaikan proses pembelajaran dan peningkatan mutu hasil belajar siswa. Aplikasi gaya kepemimpinan pada organisasi sekolah sangatlah ideal. Melalui gaya kepemimpinan seperti itu, segala potensi organisasi sekolah dapat ditransformasikan menjadi aktual dalam kerangka mencapai tujuan lembaga.

Dibandingkankan dengan gaya kepemimpinan transformasional, kepemimpinan kepala sekolah secara transaksional kurang mendorong bawahannya untuk menciptakan ide-ide yang produktif dan membawa perubahan. Hal ini dikarenakan kepemimpinan transaksional didasarkan atas kekuasaan birokratis/bukan kesadaran bersama dan memotivasi para pengikut demi kepentingan diri sendiri. Kepemimpinan transaksional juga digambarkan sebagai kepemimpinan yang hanya memberikan penjelasan tentang apa yang menjadi tanggung jawab bawahan serta imbalan yang dapat mereka harapkan jika standar yang ditentukan tercapai. Gaya kepemimpinan ini lebih mengedepankan imbalan pengawasan terhadap kesalahan, sehingga kurang dapat meningkatkan kinerja guru. Kepemimpinan transaksional juga melibatkan nilai-nilai, akan tetapi nilai itu relevan sebatas petukaran, tidak langsung menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki.
Meski terdapat perbedaan, namun apabila kepemimpinan transformasional dan transaksional itu dapat dikombinasikan, maka akan lahir apa yang disebut oleh Bass dan Avilio sebagai full range leadership model.


BAB III
PENUTUP

Kepemimpinan transaksional adalah suatu gaya kepemimpinan yang mengembangkan suatu sistem transaksi (timbal balik) yang menguntungkan, yakni pemimpin memahami kebutuhan dasar anggotanya dan pemimpin menemukan penyelesaian atas cara kerja dari para pengikutnya tersebut. Kepemimpinan ini cocok untuk diterapkan ditengah-tengah staf yang belum matang dan menekankan pada pelaksanaan tugas untuk mendapat insentif bukan pada aktualisasi diri. Bass dan Avolio mengungkapkan ada 3 faktor dalam kepemimpinan transformasional, yakni penghargaan, manajemen pengecualian aktif, dan manajemen pengecualian pasif.
Sedangkan kepemimpinan transformasional adalah suatu proses dimana pemimpin dan pengikutnya merangsang diri satu sama lain bagi penciptaan level tinggi moralitas dan motivasi yang dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi bersama mereka. Pemimpin transformasional juga merupakan pemimpin yang memiliki wawasan jauh kedepan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini saja tetapi dimasa datang. Bass dan Avolio mengungkapkan ada 5 faktor dalam kepemimpinan transformasional, yakni atribut yang ideal, perilaku yang ideal, motivasi inspiratif, simulasi intelektual, dan konsiderasi yang diindividualisasikan.
Manajemen berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu model desentralisasi dalam bidang pendidikan yang memberi otonomi untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi manajemen partisipasif pada tingkat sekolah sesuai standar nasional pendidikan yang didasari potensi, prakarsa, dan prioritas agar tumbuh kemandirian sekolah.
Berkaitan dengan MBS, kepemimpinan transformasional digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang mampu memotivasi karyawan sehingga dapat berkembang dan mencapai kinerja pada tingkat yang tinggi. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan transformasional perlu diadopsi kedalam kepemimpinan Kepala sekolah, khususnya dalam rangka menunjang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dibandingkan dengan gaya kepemimpinan transformasional, kepemimpinan kepala sekolah secara transaksional kurang memotivasi dan mendorong bawahannya untuk menciptakan ide-ide yang produktif, serta kurang membawa perubahan. 

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Kadim Masaong dan Arfan A. Tilome. 2011. Kepemimpinan Berbasis Multiple Intelligence (Sinergi Kecerdasan Intelektual, Emosional dan Spiritual untuk Meraih kesuksesan yang Gemilang). Bandung: Alfabeta
Danim, Sudarwan. 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional  dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara
Danim, Sudarwan.. 2009. Manajemen dan Kepemimpinan Transformasional Kekepalasekolahan: Visi dan Strategi Sukses Era Teknologi, Situasi Krisis, dan Internasional Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Danim, Sudarwan.. 2010. Kepemimpinan Pendidikan: Kepemimpinan Jenius (IQ+EQ), etika, perilaku Motivasional, dan Mitos. Bandung: Alfabeta
Engkoswara, H. 2010. Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfa Beta
Muhyi, Encep Safrudin. 2011. Kepemimpinan Pendidikan Transformasional. Jakarta: Diadit Media
Mulyono, 2009. Educational Leadership: Mewujudkan Efektivitas Kepemimpinan Pendidikan, Malang: UIN-Malang Press
Nurkholis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori , Model, dan Aplikasi. Jakarta: PT. Grasindo


Raihani. 2010. Kepemmpinan Sekolah Transformatif. Yogyakarta: LkiS

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 2:28 pm Kategori:

Comments
0 Comments

0 comments: