Rouf 'Azmi Lanjut Baca [konsep belajar] | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Tuesday 2 February 2010

Lanjut Baca [konsep belajar]

Baca Paragraf Sebeumnya: Klik Disini

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Teori-teori dalam Islam
1.    Konsep Manusia
Manusia dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep manusia dalam pandangan agama selain Islam. Al Qur’an telah mengungkapkan dan menjelaskan istilah-istilah manusia, yaitu:
a.         Al Insan dan Al Nas
Kata al-insan berakar dari kata nas yang berarti jinak dan harmonis. Kata insan digunakan Al Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa, dan raga. Manusia memiliki rasa malu jika melanggar aturan.dan termasuk makhluk terhormat dan mulia. Kata insan disebutkan sebanyak 65 kali dipakai untuk sebutan manusia tunggal (individu), sedangkan kata al-nas disebutkan 241 kali untuk sebutan manusia jamak (sosial).[1]
Manusia menerima pelajaran dari Allah sehingga memilki ilmu pengetahuan yang luas. Dengan adanya ilmu pengetahuan tersebut manusia menjadi tinggi derajatnya dan dapat mengatasi permasalahan hidup dengan baik. Segala kejadian dan fenomena yang ditunjukkan oleh Allah untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Hal sekecil apapun akan terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal, itulah al insan.
Istilah al-nas berkaitan dengan interaksi kehidupan manusia yang bersifat kolektif, misalnya kepemimpinan, perubahan sosial, dan perubahan alam. Manusia selalu membutuhkan orang lain dalam berinteraksi, sehingga saling bermanfaat satu sama lain. Persoalan mengenai kepemimpinan, jadilah pemimpin yang amanah sebagai al-nas yang digambarkan Allah dalam Alqur’an.
b.        Al Basyar
Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, seperti makan, minum, berjalan, dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau bisa diartikan menampakkan sesuatu yang baik dan indah. Kata basyar di dalam Al-Quran diulang sebanyak 36 kali, dipakai untuk penyebutan manusia dalam kaitannya dengan aspek-aspek jasmaniah.[2]
Menurut Asy-Syathi, pemakaian kata basyar di seluruh isi Al Qur’an memberikan pengertian bahwa yang dimaksud adalah anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar yang saling bertemu atas dasar persamaan.[3]
c.         Bani Adam
Bani Adam artinya keturunan Adam yang menunjukkan manusia dilihat dari sudut keturunan. Manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam, oleh karena itu apabila ada yang mengaku bukan keturunan Nabi Adam berarti dia bukanlah manusia. Nabi Adam sebagai manusia pertama yang diamanahi oleh Allah untuk mengelola, mengatur, dan menata bumi ini dengan sebaik-baiknya atau disebut sebagai khalifah.
Para mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan khalifah adalah “Adam”, akan tetapi para pakar bahasa berpendapat bahwa kata “khalifah” dalam pandangan mereka berasal dari kata “khalafa” artinya belakang. Namun demikian, kata “khalifah” menurut mereka tidak selamanya diartikan dengan “belakang”, tapi juga diterjemahkan dengan “pengganti”. M. Quraish Shihab mengatakan kata “khalifah” atau “pengganti” adalah mengganti orang lain untuk melaksanakan suatu tugas atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikan maupun sesudahnya.[4]

2.    Potensi Manusia
a.         Potensi Jasad atau Ruh
Manusia berasal dari tanah yang dinyatakan dengan macam-macam istilah, misalnya seperti tanah, tanah kering, tanah liat, dan tanah berlumpur, sampai pada ditiupkan-Nya ruh ciptaan Tuhan. Dalam bahasa manusia, lumpur merupakan simbol terendah, sedangkan bagian yang terluhur dan tersuci dari Dzat tersebut ialah roh-Nya. Hal tersebut menjelaskan kepada kita bahwa manusia merupakan gabungan dari lumpur dan ruh Allah SWT. Lumpur selaku unsur materi yang berasal dari bermacam-macam bahan yang terdapat di dalam tanah, sedangkan ruh selaku unsur nonmateri atau rohani yang berasal dari Allah.[5]
Ruh yang berasal dari Tuhan itulah yang menjadi hakikat manusia, sedangkan jasadnya merupakan alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam. Hal ini yang membedakan manusia dengan hewan, karena Tuhan tidak meniupkan ruh kepada hewan.[6]
b.        Potensi Akal
Potensi akal banyak disinggung di dalam Al Qur’an dengan maksud agar manusia menggunakan akalnya untuk bisa memahami dan  berpikir apa saja baik empiris dan nonempiris. Dalam Al Qur’an menurut Harun Nasution, ada tujuh kata yang digunakan untuk menyebut konsep berpikir, yaitu nadzara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan ‘aqala.[7] Istilah tersebut bertebaran dalam Al-Qur’an sebagai penghargaan yang tinggi terhadap akal manusia.
Akal merupakan potensi yang mampu membuat manusia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi akal yang benar ialah akal yang dibimbing dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT dan Al-Qur’an merupakan petunjuk yang nyata bagi potensi akal manusia. Oleh karena itu, potensi akal perlu diasah dan dididik agar tumbuh sehat dan genius.
c.         Potensi Qalbu
Al-qalb secara bahasa adalah memindahkan atau membalikkan sesuatu dari permukaan.[8] Sesuai dengan maknanya, maka sifat dari qalb  yaitu mudah terbolak-balik. Fungsi qalb dapat menentukan kualitas manusia secara keseluruhan, apakah dia orang yang baik atau buruk. Salah satu fungsi qalb adalah untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah SWT dan kekuasaan-Nya. Potensi qalb juga dapat mengembangkan daya rasa yang ada disamping akal yang kemudian dituangkan dalam bentuk seni.
Potensi ini perlu dipelihara dengan memperbanyak dzikir menyebut asma-asma Allah. Apabila qalb sudah tidak berfungsi lagi, maka akan terjadi kehampaan, kering, kegelisahan dalam hidup manusia. Obat dari penyakit ini adalah dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an dan memperdengarkan siraman rohani.
d.        Potensi Nafs
Kata nafs banyak bertebaran di dalam Al Qur’an yang diartikan beragam, antara lain jiwa, diri, nafsu. Akan tetapi makna nafs ini dapat juga dipahami sebagai akumulasi kejiwaan manusia yang kompleks. Nafs berkecenderungan untuk menyuruh kejahatan, kecuali nafs yang diberi rahmat. Nafs kejahatan biasa disebut sebagai hawa nafsu sedangkan nafs kebaikan disebut nafs muthmainnah. Manusia yang menuruti hawa nafsu akan terkunci hati nuraninya sehingga tidak akan terbuka menerima petunjuk untuk menjadi orang yang bertaqwa.
3.    Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia secara umum adalah untuk menyembah kepada penciptanya yaitu Allah. Seperti yang tercantum dalam Q.S Adzaariyaat: 56, yang artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Pengertian penyembahan kepada Allah tidak bisa diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia dalam hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan manusia.
 Penyembahan yang sempurna dari seorang manusia adalah akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam mengelola alam semesta. Keseimbangan pada kehidupan manusia dapat terjaga dengan hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah ciptakan. Tugas khalifah menurut Quraish Shihab tergabung menjadi empat sisi yang saling berkaitan, yaitu: 1) mematuhi tugas yang diberikan Allah, 2) menerima tugas tersebut dan melaksanakannya dalam kehidupan perorangan atau kelompok, 3) memelihara serta mengolah lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama, 4) menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.[9]

B.  Pemikiran dan Pandangan Para Tokoh tentang Pendidikan Islam
1.      Ibnu Khaldun
a.       Tinjauan secara umum
Mengetahui teknik mengajar adalah suatu keharusan yang diterapkan dalam praktik kependidikan, yang mencakup :
i.      Mengaitkan antara metoda dengan materi pelajaran.
ii.    Metoda bukanlah bagian dari ilmu atau materi pelajaran yang telah ditetapkan.
iii.  Mempelajari kejiwaan anak dan tingkat-tingkat kematangan dan bakat-bakat anak.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tidak cukup seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang menambah kemampuannya dalam belajar. Akan tetapi juga guru wajib memperbaiki metoda dalam penyajian ilmu kepada anak didiknya.
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metoda mengajar, sebaiknya harus diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya (Guidance ancausile), karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metoda itu.

b.      Ibnu khaldun tidak menyetujui mengajar dengan cara verbalistis (teks books crolen )
Ibnu khaldun menentang metoda verbalisme dalam pengajaran dan menghindari dari hapalan yang tidak memahami sesuatu yang dapat dibuktikan melalui panca indera dan bahan pelajaran yang dihafakan anak. Karena menghapal dengan cara demikian ini akan menghanbat kemampuan memahami, beliau menghimbau agar guru menggunakan metoda lmiah yang modern dalam membahas problema ilmu pengetahuan, dengan pendapatnya beliau : “…dan cara yang paling gampang dalam memahami ilmu adalah kelancaran berbicara dalam diskusi dan pembahasan tentang problema ilmiah, maka ia akan dapat mendekati seluk beluk yang terkandung dalam problema dan dapat memperoleh pengetahuan tentang maksud tujuan yang sebenarnya.
c.       Pandangan Ibnu Khaldun terhadap perkembangan akal pikiran Anak Didik
Beliau menganjurkan agar guru-guru mempelajari sungguh-sungguh perkembangan akal pikiran murid-muridnya, karena anak pada awal hidupnya belum memiliki kematangan pertumbuhan. Kata beliau  : “ Kita telah menyaksikan kebanyakam guru pada masa itu tidak mengetahui metoda pengajaran dan cara penggunaannya, sehingga mereka hadir di depan murid-muridnya dengan mengajarkan permasalahan yang sulit dipahami, dan mereka menyuruh agar memecahkannya (menganalisanya) dan mereka menduga bahwa dengan cara demikian akan memperkembangkan pengajaran dan mengandung kebenaran, padahal kemampuan menerima pengetahuan dikalangan murid mula-mula lemah pemahamannya terhadap keseluruhan ilmu, kecuali dengan jalan mendekati dan memperbaiki dengan menggukan contoh-contoh yang dapat diamati dengan panca indera.
Kesiapan dan kematangan murid tersebut berkembang setingkat demi setingkat, bertentangan dengan problema ilmu yang dihadapkan kepadanya. Dan proses pengalihan ilmu untuk mendekati, dengan cara menganalisa problema tersebut, sehingga kemampuan untuk menyiapkan duri mereka ilmu itu benar-benar sempurna, kemudian baru mendapatkan hasilnya.
d.      Metoda mengajar dan gaya yang harus dipelihara oleh guru
                                       i.     Metoda pentahapan dan pengulagan (Tadarruj Wat tik-rari)
                                     ii.     Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran
                                   iii.     Widya wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman yang langsung
                                   iv.     Tidak memberikan presentasi yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan
                                     v.     Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu
                                   vi.     Tidak mencampur antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu
                                 vii.     Hendaknya jangan mengajarkan Al-Qu’an kepada anak kecuali setelah sampai pada tungkat kemampuan berfikir tertentu
                               viii.     Menghindari dari mengajarkan ilmu dengan ihktisarnya
                                   ix.     Sangsi terhadap murid merupakan salah satu motivasi dorongan semangat belajar (bagi murid yang tiadak disiplin)

2.      Ibnu Sina
b.    Pendidikan ketrampilan untuk mempersiapkan
Ibnu Sina mengintegrasikan antara nilai-nilai identitas dengan pandangan pragmatis, sebagaimana yang ia katakan :” Jika anak telah selesai belajar Al-Qur’an dan menghapal dasar-dasar gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia kejalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah dengan pelajaran bahasa surat menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta berbincang-bincang dengan mereka dan sebagainya. Kalau problema Matematika, maka caranya harus mengerjakan bersamanya, membimbing dan menuliskannya. Dan jika ingin yang lain maka bawalah ia kesana.”

Prinsip-prinsip pendidikan menurut Ibnu Sina:
i.       Jangan memulai pengajaran Al-Qur’an kepada anak melainkan setelah anak mencapai tingkat kematangan akal dan jasmaniah yang memungkinkan dapat menerima apa yang diajarkan.
ii.     Mengitegrasikan antara pengajaran Al-Qur’an dengan huruf hijaiyah, yang memperkuat pandangan pendidikan modern saat ini yaitu dengan metoda campuran antara metoda analitis dan strukturalis dalam mengajar membaca dan menulis.
iii.   Kemudian anak diajuar agama pada waktu tingkat kematangan yang mantap dimana menurut adat kebiasaan hidup keagamaan yang benar terbuka lebar sampai dapat menyerap kedalam jiwanya dan mempengaruhi daya inderawi serta perasaannya.
iv.   Ibnu Sina juga memandang penting pelajaran syair sehingga syair itu menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini dimulai dengan mengajarkan syair-syair yang menceritakan anak glamour, sebab lebih mudah dihapal dan mudah menceritakannya. Disamping itu dilihat dari aspek lainnya syair dipandang sebagai kumpulan pantun arab yang berisi tentang kebanggaan dan ungkapan pikiran bangsa arab.
v.     Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat dan bakat pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas belajar secara lebih mantap.   
c.    Pendidikan Akhlak
Selanjutnya Ibnu Sina sangat memperhatikan segi akhlak dalam pendidikan, yang menjadi fokus perhatian dari seluruh pemikiran filsafat pendidikan yaitu mendidik anak dengan menumbuhkan kemampuan beragama yang benar. Oleh karena itu pendidikan agama memang merupakan landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Ia menyatakan :” jika anak berada di maktab (kuttab) bergaul dengan sesama anak yang berakhlak terjadi interaksi edukatif, satu sama lain saling meniru dan demikian ia menjadi dasar budinya. Oleh karena itu mereka harus diarahkan kepada pergaulan antar anak yang berakhlak mulia dan beradat kebiasaan yang baik.
Ibnu Sina menjadikan aktivitas berbicara dikalangan anak sebagai suatu metoda yang paling baru untuk mendidik anak mengungkapkan isi hati mereka. Karena ia menganggap bahwa pembicaraan dikalangan anak merupakan persiapan akal anak untuk berpikir dan berdiskusi dan membuka jalan kepada sikap pemahaman yang mendalam.
d.   Syair merupakan salah satu sarana pendidikan akhlak tentang dera dan hukuman
Sesuatu yang menarik perhatian para pembahas tentang sebab-sebab Ibnu Sina menganggap penting syair arab, karena mengandung nilai ahklak dan menjadi salah satu alat pendidikan akhlak. Barang kali rahasianya ialah kembali kepada pribadinya sebagai filosof dan tabib yang berjiwa pendidik atau pendidik yang berjiwa tabib, yang menyebabklan ia menjadi penyair yang mendalami nilai syair dan pandangannya yang terkenal kayadengan kebijakan yang dapat menjelaskan segala sesuatu.
e.    Pandangannya tentang dera dan hukuman
Ibnu Sina mengatakan : “suatu kewajiban pertama ialah mendidik anak dengan sopan santun, membiasakannya dengan perbuatannya yang terpuji sejak mulai disapih, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya.”
Jika terpaksa harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, t5etapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipouji didorong keberaniannya untuk berbuat baik.
Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang banyak membuat anak menjadi terasa ringan, dan memandang suatu hukuman itu remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah memberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.
f.     Hubungan antara Akhlak dengan pendidikan mental dan fisik
Ibnu Sina menghubungkan pendidikan Akhlak dengan kesehatan jasmani dan rohani, serta kewajiban memelihara akhlak sesuai dengan tuntutan pendidikan anak. Tetapi sebaliknya harus dipikirkan bagaimana agar apa yang disukai anak, dan apa yang menjadi hobinya dapat di dekatkan secara dekat kepada mereka sedangkan apa yang ia benci jauhkanlah dri padanya, juga jangan dihadapkan kepada kesulitan melainkan harus diberi kemudahan untuk mengembangkan keahliannya.
Tindakan demikian mengandung dua manfaat yaitu manfaat bagi jiwa dan jasmaninya. Karena keutamaan akhlak dari jiwa anak-anak disebabkan tumbuh dari prilaku baik dalam pergaulannya. Akhlak yang baik tumbuh dari akibat kebaikan pergaulan, sedangkanh akhlak yang buruk juga akibat dari pergaulan yang buruk. Padahal akhlak yang baik mempengaruhi kesehatan mental dan fisik secara keseluruhan.
   
3.      Al-Ghazali
a.       Tujuan Pendidikan
Al-Ghazzaly mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan islam mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhillah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. Dan tujuan pendidikan bagi beliau adalah bersifat keagamaan dan keakhlakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT danh sekaligus untuk mehndapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengalaman. Yang dimaksud pengalaman ialah pengalaman terhadap amal akhirat.
b.      Teknik mengajar dan adab sopan santun seorang guru
Al-ghazzaly adalah sangat menyetujui tentang pentingnya aspek keagamaan dalam pendidikan, tapi tidak mengabaikan aspek amaliah meskipun beliau tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada aspek ini. Beliau menghendaki agar pendidikan dilandasi dengan agama dan akhlak. Itulah sebabnya beliau memandang bahwa teknik mengajar merupakan pekerjaan yang paling utama yang harus diikuti setiap orang.
c.        Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru
Al-Gazzaly menguraikan sejumlah sifat-sifat guru yang mencerminkan tugas yang harus dilaksanakan oleh mereka yaitu mendidik akal pikiran, jiwa dan rah, yang dijelaskannya sebagai berikut :
i.      Hendaknya guru mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri
ii.      Guru hendaknya menasihati muridnya agar jangan mencari ilmu untuk kemegahan atau mencari penghidupan,akan tetapi menuntut ilmu demi untuk ilmu dan hal ini merupakan dorongan ideal yang perlu diikuti.
iii.    Guru wajib memberi nasihat murid-muridnya agar menuntut ilmu yang bermanfaat tersebut (menurut beliau) ialah ilmu yang dapat membawa kebahagiaan hidup akhirat, yaitu ilmu agama.
iv.    Seorang guru teladan yang baik oleh anak-anak (mereka menyerap kebiasaan yang baik yang dikembangkan oleh seorang guru idola). Oleh karena itu seorang guru wajib berjiwa lembut yang penuh dengan tasamuh (lapang dada) penuh keutamaan, dan terpuji.
v.      Memperhatikan bakat kemampuan murid tingkat perkembangan akal dan pertumbuhan jasmaniyahnya.
vi.    Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak (murid)
vii.  Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya, agar ucapanny tidak mendustai perbuatannya.
viii.    Mempelajari hidup psikologis muerid-muridnya.

d.      Pandangan tentang ganjaran dan siksaan / hukuman
Untuk membuat anak jera hendaknya para pendidik menggunakan cara-cara yang dapat menjauhkan anak melakukan perbuatan tidak baik yang dilakukan dalam bentuk persuasif dan kekeluargaan. Bila guru ingin mencegah anak berbuat buruk lebih baik menggunakan cara-cara yang membiarkan mereka seolah-olah tidak diperhatikan (Metoda ta’rudh), bukan cara langsung menegurnya dengan keras atau kasar (metoda tasrich). Bahkan mereka diperlakukan dengan kasih sayang karena demikian anak tidak akan selalu berperilaku buruk. Menurut Al-Gazaly :” karena dengan menegur secara kasar/keras akan menyingkapkan rasa takut dan menimbulkan keberanian menyerang orang lain, dan mendorong timbulnya keinginan untuk tetap melakukan pelanggaran. Sedang cara yang mendorong kearah pengertian (metoda ta’ridh) atau cara persuasif membuat anak cenderung ke arah mencintai kebaikan, dan berpikir kretif dalam memahami suatu kejadian.


e.       Pendapat Al-Gazzaly tentang mendidik anak
Al-Gazzaly berpendapat bahwa anak dilahirkan tanpa dipengaruhi sifat-sifat heriditer kecuali hanya sedikit sekali, karena faktor pendidikan, lingkungan dan masyarakat merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi sifat-sifat anak. Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat para ahli psikologi (behavorisme) yang mengingkari adanya pengaruh faktor keturunan ini secara mutlak.
f.       Kurikulum pendidikan anak
i.      Pendidikan anak dimulai sejak lahir
ii.    Disiplin pribadi merupaka azas dari pendidikan akhlak
Hendaknya para pendidik mengikuti sistem pendidikan berdasarkan atas kaidah membiasakan anak dengan disiplin pada waktu makan, berpakaian dan tidurnya. Tujuannya ialah untuk menunbuhkan jasmaniah anak agar kuat dan mampu menaggung kesulitan hidupnya.

4.       Analisis tentang pendidikan yang diterapkan tokoh diatas
Seorang guru itu bertugas bukan hanya mentranfer ilmunya saja akan tetapi juga harus bisa menjadikan anak itu lebih mengetahui sesuatu ilmu yang lebih luas serta penerapanya untuk dijadikan bekal hidupnya nanti.
Dalam pandangan 3 tokoh ulama’ yang terkenal tentang pendidikan adalah bahwa seorang guru itu menerapkan ilmunya bukan hanya memberikan ilmunya saja, akan tetapi ada tahapan serta teori yang mana harus tertanamkan pada diri seorang guru, pada saat guru mengajarkan ilmunya dengan cara bertahap (mengetahui seberapa tingkat prmikiranya), ketika seorang guru memberikan ilmu kepada muridnya bukan hannya dengan teori atau hafalan saja akan tetapi harus dibarengi dengan praktek atau bisa dikatakan hafalan tanpa pemahaman itu sama saja dengan bohong, dan didalamnya terdapat materi agama untuk mengimbangi pelajaran umum.
Pendidikan yang ada di negara kita jika diterapkan sistem seperti diatas (yang dipakai para ulama’ terkenal) akan lebih sempurna, karena jika metode 3 tokoh tersebut diatas digabungkan lalu diterapkan di negara kita maka anak itu bukan hanya tahu akan tetapi mengerti dan faham sehingga terwujudlah ilmu yang bermanfaat serta lebih melengket pada fikiran anak, dan setelah kita mengamati pendidikan yang berada di sekitar kita masih menggunakan yang penting murid itu tahu, tanpa mengetahui bagimana cara penerapanya dari materi yang diberikan (hanya sebagian saja yang menerapkan sistem diatas). 

C.      Implikasi terhadap Pembelajaran
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan, karena ia menjadi sarana yang memberi makna kepada materi pendidikan.[10] Dalam memilih metode mengajar biasanya  didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor, antara lain tujuan mengajar dan materi yang akan diajarkan. Berkaitan dengan metode pengajaran ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh yang disajikan menurut tema-tema pokok kandungan Al-Qur’an, yang meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah.
1.    Metode Pendidikan Nabi di Bidang Akidah
Dalam mengajarkan keimanan Nabi menggunakan beberapa metode sebagai berikut :
a.    Metode bertanya/ melempar pertanyaan
Pertanyaan berasal dari Nabi kepada sahabat. Pertanyaan yang disampaikan Nabi tidak dimaksudkan untuk dijawab oleh orang yang ditanya, tetapi dijawab sendiri oleh Nabi. Pengajuan pertanyaan itu digunakan untuk merangsang rasa ingin tahu, menarik perhatian, dan memunculkan obsesi untuk segera mengetahui apa yang hendak disampaikannya kepada audiens.
Metode pertanyaan dalam konteks pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik dan untuk mengembangkan pengetahuan yang berpangkal pada kecerdasan otak dan intelektualitas. Ini merupakan tujuan penidikan yang menyangkut aspek kognitif.[11]
Contoh metode melempar pertanyaan ini dapat dilihat dalam hadis berikut:
Seorang sahabat bernama Aswad ibn Hilal menceritakan, bahwa dirinya mendengar dari Mu’adz yang mendisahkan bahwa dia dipanggil oleh Nabi. Kepada Mu’adz, Nabi SAW bertanya: “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?” Mu’adz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi bersabda: “Mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” Nabi bertanya lagi: “ Apa hak mereka atas Allah jika mereka telah berbuat demikian?” Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi bersabda: “Dia tidak akan mengazab mereka.” (HR. Muslim)
b.    Metode kisah/ cerita
Kisah merupakan salah satu metode pendidikan Nabi di bidang akidah. Metode kisah oleh Nabi dijadikan sebagai medium untuk menjelaskan suatu pemikiran dan mengungkapkan suatu masalah. Metode kisah termasuk cara yang paling efektif untuk mentransmisikan pesan penguatan ideologi dan lebih dapat mengenai sasaran. Metode kisah dalam dunia pendidikan modern dikembangkan untuk mengimplementasikan ranah kognitif dan ranah afektif dalam bentuk pengamalan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
c.    Metode menjawab pertanyaan (hiwar/ dialog)
Metode dialog biasanya dimulai dengan pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada Nabi untuk dijawab. Metode menjawab pertanyaan merupakan salah satu bentuk respon paling konkret yang dilontarkan seseorang kepada orang lain. Nabi Muhammad SAW menggunakan metode menjawab pertanyaan ini untuk menyampaikan pesan keimanan secara langsung kepada para sahabat. Dalam hal ini Nabi sangat menekankan kepada para sahabat agar mereka yang memulai pertaanyaan.
Dialog (hiwar) yang digunakan Nabi dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan (monoteisme), menurut Abdurrahman an-Nahlawi dikategorikan sebagai ‘hiwar nabawi athifi’ (dialog afektif Nabi). Perasaan ketuhanan yang menjadi pilar utama dalam kehidupan seorang Muslim harus ditanamkan melalaui pendidikan yang mengarah pada unsur afektif (perasaan)secara benar dan mendalam.[12]
d.   Metode nasihat/ ceramah/ khutbah
Nasihat yang mudah diterima adalah apabila nasihat itu bersifat logis dan disertai penjelasan yang meyakinkan dengan alasan atau argumen yang kuat. Dalam memberi nasihat kepada sahabat tentang keimanan, Nabi SAW sering menggunakan perumpamaan atau metafora. Hal ini digunakan untuk menjelaskan atau mengungkapkan hakikat sesuatu dengan jalan majaz (ibarat), atau mengumpamakan sesuatu yang riil (nyata) dengan sesuatu yang nyata lainnya. Selain dengan metafora Nabi SAW mengawali nasihatnya dengan memakai kata sumpah (qasam) kepada Allah untuk memberi tekanan pada isi nasihat. Selain itu Nabi SAW dalam mengajarkan keimanan juga dengan nasihat yang disertai argumentasi. Argumentasi atau alasan (hujjah) yang kuat akan membuat orang yang bertanya akan merasakan puas karena dapat mengetahui hakikat permasalahan yang ditanyakan.
e.    Metode peragaan/ demonstrasi
Dalam menjalankan tugas mengajar tidak jarang seorang guru atau pendidik mengalami kesulitan dalam menjelaskan suatu konsep tertentu hanya dengan mengandalkan bahasa verbal atau keterampilan lisan. Sehingga supaya konsep itu dapat dipahami denga mudah oleh peserta didik sangat dibutuhkan alat bantu peraga.[13]
2.    Metode Pendidikan Nabi di Bidang Ibadah
Pemilihan metode yang efektif dan efisien di samping harus mempertimbangkan faktor materi pendidikan juga faktor tujuan. Tujuan pengajaran ibadah pada prinsipnya dimaksudkan untuk mengetahui teori (aspek kognitif) tentang ibadah yang diajarkan, memberi penghargaan (apresiasi) terhadap ibadah (aspek afektif), dan mengamalkan materi ibadah yang diajarkan (aspek psikomotorik). Dengan mempertimbangkan ketiga aspek tujuan pendidikan itu, maka metode pendidikan Nabi di bidang ibadah adalah sebagai berikut.
a.    Metode dialogis/ diskusi/ tanya jawab
Dalam pendidikan, metode dialog akan melahirkan sikap saling tebuka antara pendidik dan anak didik. Dalam implementasnya, metode dialog dapat membuka ide-ide baru yang timbul dalam proses belajar-mengajar. Oleh karena itu dalam metode dialog anak didik tidak lagi dipandang sebagai obyek pendidikan melainkan juga sebagai subyek pendidikan. Metode dialog juga dapat menciptakan iklim pendidikan yang demokratis di mana peserta didik akan mengembangkan kemampuannya untuk berekspresi secara lebih mandiri dan tidak selalu tergantung pada pendidik.
b.    Metode praktik/ contoh
Ketika tujuan pengajaran ibadah diarahkan kepada aspek psikomotorik, maka metode yang tepat digunakan untuk kepentingan pengajaran ibadah adalah metode contoh atau praktik. Metode ini dapat dilihat ketika Rasulullah SAW mengajarkan tata cara wudhu, sholat dan dalam kasus “cukur rambut”  pada saat Perjanjian Hudaibiyah.
c.    Metode eksplanasi/ nasihat/ metafora
Metode eksplanasi diperlukan apabila tujuan pendidikan difokuskan kepada aspek kognitif yang menyangkut pengetahuan dari materi pendidikan. Namun demikian, menurut prinsip pendidikan, nasihat saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan contoh atau teladan. Nasihat memiliki makna penting dalam pendidikan, karena secara psikologis manusia memerlukan pengarahan dan pembinaan secara kontinyu. Karena jarang terjadi bahwa dengan teladan saja orang akan menjadi baik, disebabkan ia tidak mampu mengambil hikmah dari keteladanan itu sendiri.
d.   Metode targhib dan tarhib
Dampak psikologis dan pedagogis dari metode targhib dan tarhib adalah untuk menumbuhkan perasaan khauf (takut) kepada Allah. Di samping itu metode ini dapat menanamkan rasa cinta yang tulus dan mendalam kepada Allah, Rasul-Nya dan manusia, dan perasaan raja’ (berharap) hanya kepada Allah semata akan rahmat-Nya sebagai balasan dari aktivitas peribadatan.
e.    Metode tadriji
Metode tadriji yaitu memberikan pelajaran dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit, termasuk memberikan sekian alternatif terhadap suatu persoalan. Metode ini dapat dilihat pada saat Nabi SAW memberikan hukuman pada seorang laki-laki yang berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Beliau tidak memberikan hukuman sekaligus, tetapi dengan mengajukan beberapa alternatif. Sikap tidak keras dan kasar yang diperlihatkan Nabi SAW dalam memberikan hukuman merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan kesadaran bagi orang yang dihukum untuk tidak mengulangi lagi kesalahan.
3.    Metode Pendidikan Nabi di Bidang Akhlak
Satu hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan kajian mengenai metode pengajaran Nabi SAW di bidang akhlak ialah satu ungkapan singkat yang memuat seluruh esensi metode pendidikan beliau yang berbunyi :”hakikat metode pendidikan Nabi adalah akhlak Nabi itu sendiri.”[14]
a.    Metode pengalihan inderawi kepada rohani/ spiritual
Metode ini digunakan untuk menegaskan bahwa nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai inderawi. Sa’id Ismail dalam bukunya al-Ushul al-Islamiyah li al-Tarbiyah mengutip sebuah kisah bahwa Rasulullah SAW melihat seorang ibu yang menjadi tawanan perang. Dia mencari anak bayinya yang hilang kesana kemari. Ketika si anak ditemukan segera dia memeluknya dan menyusuinya, seolah-olah tidak ada sesuatu yang telah terjadi padaya. Nabi SAW kemudian bertanya kepada para sahabat: “ Tidakkah kamu melihat kasih sayang ibu ini kepada anaknya?” Mereka menjawab: “Ya.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda:”Kasih sayang da kegembiraan Allah kepada hamba-Nya yang bertaubat lebih besar dibandingkan dengan kegembiraan ibu ini kepada anaknya.”
b.    Metode kisah/ cerita
Beberapa keistmewaan metode kisah/ cerita untuk menyampaika materi akhlak di antaranya, pertama, gaya bahasanya jelas, terinci dan sederhana sehingga mudah dipahami. Kedua, sebagian kalimatnya diulang-ulang untuk lebih memfokuskan pada tujuan kisah. Ketiga, materinya bernuansa psikologis dan memiliki daya imajinasi yang hidup dan menarik.
c.    Metode dialog
Metode pendidikan akhlak dari Nabi SAW melalui dialog di antaranya dapat dilihat pada hadits di bawah ini:
Abu Hurairah menceritakan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW da bertanya: “Siapakah orang yang lebih berhak saya hormati?” Nabi menjawab: “Ibumu.” Orang itu bertaya lagi: “Lalu siapa lagi?” Nabi menjawab: “Ya ibumu.” Orang itu bertanya lagi: “ Lalu siapa lagi?” Nabi menjawab: “Ya ibumu.” Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa lagi?” Nabi menjawab:”Baru ayahmu.” (HR. Muslim)
d.   Metode nasihat
Nabi SAW menggunakan metode nasihat dengan disertai alasan (hujjah) yang kuat dan teguran langsung. Nasihat dalam bentuk apapun harus disampaikan dengan cara yang baik. Bagi seorang pendidik, nasihat yang disampaikan jangan sampai mempertajam timbulnya perbedaan pendapat dan sikap permusuhan di antara anak-anak didiknya.
e.    Metode peragaan
Media peraga digunakan Nabi SAW untuk membantu pemahaman terhadap suatu konsep tertentu atau mempertegas sesuatu yang konkret (inderawi)
f.     Metode contoh/ teladan
Penjelasan metode contoh/ teladan sama dengan yang telah dibahas di atas.
g.    Metode metafora
Penggunaan metode metafora/ perumpamaan dapat dilihat dalam hadits berikut:
Imam al-Thabrani meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “ Perumpamaan seorang pakar ilmu (‘alim) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia tetapi ia melupakan dirinya sendiri, seperti sebuah lilin yang memberi cahaya kepada manusia, tetapi dirinya sendiri terbakar.”
4.    Metode Pendidikan Nabi di Bidang Muamalah
a.       Metode eksplanasi
b.      Metode kisah
c.       Metode dialog
d.      Metode nasihat
                                       



PENUTUP
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang betugas untuk mengolah dan melindungi bumi ini. Tugas khalifah menurut Quraish Shihab tergabung menjadi empat sisi yang saling berkaitan, yaitu: 1) mematuhi tugas yang diberikan Allah, 2) menerima tugas tersebut dan melaksanakannya dalam kehidupan perorangan atau kelompok, 3) memelihara serta mengolah lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama, 4) menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.
Adapun beberapa tokoh yang berperan dalam proses pendidikan Islam, diantaranya Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, dan Al Ghazali. Dari ketiga tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang guru itu bertugas bukan hanya mentranfer ilmunya saja akan tetapi juga harus bisa menjadikan anak itu lebih mengetahui sesuatu ilmu yang lebih luas serta penerapanya untuk dijadikan bekal hidupnya nanti.
Implemetasi pendidikan Islam dalam pembelajaran, Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh yang disajikan menurut tema-tema pokok kandungan Al-Qur’an, yang meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah.




DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. Tokoh Psikologi Islam, http://www.anneahira.com/tokoh-psikologi-islam.htm, diakses pada tanggal 3 April 2013 pukul 07.55
Arifin, H.M., 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Asy-Syathi, A’isyah Abd ar-Rahman Bint. 1966. Al-Maqal fi Al-Insan Dirasah Quraniyah. Mesir: Dar Al-Ma’arif.
Makbuloh, Deden. 2011. Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Nasution, Harun. 1982. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish. 1992. Tafsir Al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini.
Shihab, M. Quraish. 1999. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Untung, Moh. Slamet. 2009. Menelusuri Metode Pendidikan ala Rasulullah. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Zuhairini dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
SM, IsmailStrategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Semarang: RaSAIL Media Group. 2011.
Prasetya. Filsafat Pendidikan. Bandung : Pustaka Setya. 1997.




[1] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hal. 42.
[2] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hal. 45.

[3] A’isyah Abd ar-Rahman Bint Asy-Syathi, Al-Maqal fi Al-Insan Dirasah Quraniyah, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1966), hal. 11.
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 157.
[5] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Pengembangan Ilmu dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), Hal. 50.
[6] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hal. 77.
[7] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal 39
[8] Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam…., Hal. 55.
 [9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Amanah, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), hal. 172
[10] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. Ke-5, hlm. 197.
[11] Moh. Slamet Untung, Menelusuri Metode Pendidikan ala Rasulullah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 120.
[12] Ibid., hlm. 133.
[13] Ibid., hlm. 137.
[14] Ibid., hlm. 160.

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 1:51 pm Kategori:

Comments
0 Comments

0 comments: