PEMBAHASAN
A. Hakikat Fitrah Manusia
Amir Daien Indrakusuma mengungkapkan beberapa macam hakikat manusia, manusia itu memiliki hakikat sebagai makhluk dwi tunggal, yaitu terdiri dari dua unsur, yaitu rohaniah dan jasmaniah. Unsur halus dan unsur kasar[2], serta unsur jiwa dan unsur raga. Aspek-aspek kejiwaan yang penting diantaranya aspek moral dan aspek sosial, aspek intelektual, aspek estetis, dan aspek religius. Manusia juga mempunyai dua sifat hakiki, yaitu sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Manusia sebagai individu mempunyai kebutuhan, keinginan, serta cita-cita. Sebagai makhluk sosial, manusia memilki naluri untuk hidup berkelompok, bermasyarakat, tolong menolong, dan saling membantu antara manusia satu dengan manusia yang lain. Selain itu, manusia juga mempunyai hakikat sebagai makhluk susila atau makhluk bertuhan. Hal tersebut berarti manusia memiliki kemampuan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik menurut kesusilaan.
Fitrah berarti ciptaan dan buatan yang tidak pernah ada sebelumnya, atau berarti sifat pembawaan yang ada sejak lahir, atau berarti sifat alami manusia (human nature), atau berarti agama, dan juga berarti sunnah.[3]
“tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah maka kedua orangtuanya lah yang menjadikan anak tersebut beragama, yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Muslim)
Dari hadist diatas jelas bahwa manusia lahir sudah membawa fitrah. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa fitrah merupakan sifat dasar manusia yang dibawa sejak lahir dan memiliki keistimewaan sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah
2. Berkemampuan dan bersedia menerima kebaikan dan keturunan atas dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya untuk berpikir
4. Dorongan biologis yang berupa syahwat, rasa marah, dan tabiat
5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan
B. Gambaran tentang Manusia Menurut Perspektif Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran.[4] Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, namun masing-masing memiliki penekanan pengertian yang berbeda, yaitu:
a. Al-Basyar
Manusia jika merujuk kepada kata al-basyar, berarti mengacu kepada manusia dari aspek lahiriahnya.[5] Secara etimologi, al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.[6] Hal ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah kulitnya, dibanding rambut atau bulunya. Al-basyar juga diartikan mulamasah, yakni persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dipahami bahwa manusia manusia merupaka makhluk yang mempunyai segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti seks, makan, minum, kebahagiaan, dan sebagainya. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 47, yang artinya:
“Maryam berkata: “ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun (al-basyar)... “ (QS. Ali Imran: 47)
Dari uraian yang diperkuat dengan ayat diatas, dapat dipahami bahwa seluruh manusia akan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, tunduk terhadap hukum alamiah, baik yang berupa sunnatullah maupun takdir Allah.
Kata al-basyar digunakan Allah dalam Al-qur’an untuk menjelaskan proses kejadian Nabi Adam sebagai manusia pertama, yang memilki perbedaan dengan proses kejadian manusia sesudahnya.
b. Al-Insan
Al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata Al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara aspek psikis dan fisik telah membantu manusia untuk mengekspresikan al-insan al-bayan, yakni sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, dan sebagainya.
c. Al-Nas
Kata al-nas menujukkan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Al-nas juga dinyatakan Allah dalam Al-qur’an untuk menunjuk bahwa sebagian besar manusia tidak memiliki ketetapan keimanan yang kuat. Adapun secara umum, penggunaan kata al-nas memiliki arti peringatan Allah kepada manusia akan semua tindakannya, seperti: jangan bersifat kikir dan ingkar nikmat (QS. An-Nissa: 37), riya (QS An-Nissa:48)
C. Kedudukan Manusia dalam Pandangan Islam
1. Sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam
Allah telah menganugerahkan potensi akal pada manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Oleh karena itu, manusia diberi tugas memelihara dan melestarikan alam ini dengan sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 60, yang artinya, “... Makanlah kamu dan minumlah kamu dari rejeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana diatas bumi (QS. Al-Baqarah: 60)”
2. Sebagai peneliti alam
Allah memerintahkan manusia agar menggunakan akalnya untuk mempelajari alam semesta dan dirinya sendiri, disamping untuk kemanfaatan hidupnya, juga mengagungkan nama Tuhannya yang telah menciptakan dirinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 164, yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahter a apa yang berlayar dilaut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya, Dia sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. Al-Baqarah: 164)”
3. Sebagai khalifah dimuka bumi
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat.” (QS. Al-An’am: 165)
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.” (QS. Al-Fathir: 39)
Ayat diatas menjelaskan kedudukan manusia dialam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu.[7]
4. Sebagai makhluk yang paling tinggi dan paling mulia
Manusia adalah makhluk termulia dari segenap makhluk dan wujud yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tiin: 4)
5. Sebagai hamba Allah
Musa Asy’arie menyatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan.[8] Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia memiliki fitrah (potensi) untuk beragama. Firman Allah dalam surat Adz-dzariat ayat 56 yang artinya:
“tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan sepaya mereka menyembahku.” (QS. Adz-Dzariat: 56)
6. Sebagai makhluk yang bertanggung jawab
Sebagai konsekuensi mendapatkan suatu kedudukan yang istimewa oleh Tuhan, maka manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan didunia ini.
7. Sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik[9]
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dapat dipahami dari firman Allah SWT:
“dan Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama sebelunya.”
Sedangkan manusia sebagai makhluk mendidik, dapat dipahami dari firman Allah SWT, yang mengisahkan Luqman mengajar anaknya.
Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany mengungkapkan 8 prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap Manusia, antara lain:
1. Keyakinan tentang manusia itu makhluk termulia dari segenap makhluk dan wujud lain yang ada dialam jagat ini
2. Manusia dilantik menjadi khalifah dibumi untuk memakmurkannya
3. Manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa, boleh menggunakan bahasa sebagai media berfikir dan berhubungan
4. Kepercayaan bahwa insan mempunyai tiga mrata (dimensi), yakni badan, akal, dan ruh yang merupakan mrata pokok dalam kepribadian insan
5. Meyakini bahwa insan dengan seluruh perwatan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan
6. Menginsafi bahwa manusia mempunyai motivasi, kecenderungan dan kebutuhan permulaan baik yang diwarisi atau yang diperoleh dalam proses sosialisasi
7. Menginsafi bahwa manusia meskipun dalam beberapa ciri dan sifat ada persamaan lantaran hubungan kemanusiaan yang menghubungkan antara mereka dan lantaran persamaan budaya dan peradaban, namun terdapat titik-titik peredaan dalam banyak sifat
8. Meyakini bahwa watak insan adala luwes, lentur (flexibel).[10]
D. Unsur dan Proses Penciptaan Manusia
Proses penciptaan manusia tetbagi dalam dua tahapan yang berbeda, yakni pertama, disebut dengan primordial, kedua disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, adam as. diciptakan Allah dari tanah dan dibentuk seindah-indahnya, lalu kemudian Allah meniupkan ruh didalam diri manusia tersebut. Penciptaan manusia selanjutnya yakni melalui proses biologi yang dipahami secara empirik. Dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nutfah) yang tersimpan dalam rahim. Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang lalu ditiupkanlah ruh kedalamnya. (QS. Al-Mu’minun: 12-14).
Berdasarkan proses penciptaan itu, manusia merupakan rangkaian utuh antara unsur materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah, dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah. Kesatuan ini memerikan makna bahwa disatu sisi manusia sama dengan dunia diluar dirinya dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani.
Harun Nasution mengungkapkan bahwa unsur materi manusia mempunyai daya fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak. Sedangkan unsur immateri mempunyai dua daya, yakni daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat dikalbu. Untuk membangun daya fisik, perlu dibina melalui latihan-latihan ketrampilan dan panca indera. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa, dapat dipertajam melalui ibadah, karena intisari ibadah dalam islam ialah mendekatkan diri pada Allah yang Maha Suci. Yang Maha suci hanya dapat didekati oleh ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk mensucikan ruh atau jiwa. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa secara filosofis pendidikan islam seyogyanya merupakan kesatuan pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah agar tercipta manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh sesuai dengan filsafat penciptaannya.[11]
E. Unsur-Unsur Pengembangan Potensi Manusia
Secara agama, potensi manusia didasarkan pada tiga dimensi, yakni jasad, jiwa, dan ruh.[12] Menurut Al-Ghazali, pengertian jiwa/nafs dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, pengertian jiwa ditinjau dari segi sufistik, yakni diartikan sebagai sumber kejahatan, mencakup kekuatan emosi atau marah, ambisi atau hasrat dalam diri manusia. Kedua, pengertian secara filosofis. Nafs diartikan sebagai identitas manusia yang tetap, sebagai substansi yang berdiri sendiri.
Dalam diri nafs tersusun atas sub sistem nafs yakni qalb dan akal. Qalb merupakan elemen yang bersifat ruhani, dan mempunyai fungsi yang sangat penting, yakni sebagai alat untuk memahami realitas dan mempertimbangkan nilai-nilai serta memutuskan tindakan. Qalb juga merupakan wadah yang didalamnya terdapat muatan-muatan yang memperkuat potensi qalb. Ada tiga jenis potensi qalb, yang pertama, al-qudrah (kemampuan), yaitu suatu potensi yang berfungsi sebagai penggerak anggota tubuh demi mencapai berbagai tujuan. Kedua, al-‘ilm (instrumen pengetahuan) dan al-idrak (pencerapan), kemampuan ini berfungsi sebagai instrumen penerima rangsangan, seperti panca indra. Kemudian yang ketiga, iradah (kehendak). Potensi ini menggambarkan fungsi sebagai pembangkit dan pendorong, baik untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat ataupun menolak sesuatu yang merugikan.
Sifat dan keadaan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi qalb, apabila kondisi manusia labil, maka sudah bisa dipastikan kondisi hatinya juga labil atau tidak bagus, dan sebaliknya. Secara psikologis, sifat dan kondisi qalb dipengaruhi oleh aspek internal dan eksternal. Adapun aspek internalnya yaitu: sifat sabu’iyyah, ciri khas sifat ini adalah mempunyai sifat pemarah atau emosi tidak terkontrol. Kemudian sifat bahamiyah, seperti perilaku kerakusan dan ketamakan. Sifat syaitaniyyah, ditandai dengan sifat kecurangan, kelicikan, dan penipuan. Sifat rabaniyyah, sifat kepemimpinan mutlak, otoriter, dan diktator. Adapun aspek eksternalnya yakni pengaruh norma baik dan buruk yang ditangkap oleh hati.
Sub sistem lainnya, yakni akal. Kata akal dalam bahasa Arab dimaknai mengikat atau memahami.[13] Akal mampu menghantarkan manusia pada substansi kemanusiaan manusia atau potensi fitriyah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan buruk. Dari sisi psikologis, akal mempunyai potensi dalam berbagai tingkatan. Pertama, al-‘aqlu al-hayyulani (akal material). Akal ini adalah akal tingkatan yang paling rendah. Akal ini merupakan bawaan sejak manusia dilahirkan dan siap menerima perkembangan selanjutnya karena proses lingkungan dan hereditas. Kedua, ‘aqlu al-malakah (akal terlatih), yakni akal yang telah memiliki pengetahuan dasar yang dapat diolah menjadi pengetahuan yang leih kompleks. Ketiga, al-‘aqlu bi al-fi’li (akal abstrak), akal yang telah mempunyai kemampuan berpikir sebagai hasil kegiatan berpikir intelek. Kegiatan intelek manusia telah bersifat aktif, yakni mampu membedakan mana yang baik dan uruk. Keempat, al-‘aqlu al-mustafad (akal perolehan), pada tingkatan ini akal bersifat aktif menciptakan pengetahuan baru dengan berdasarkan pada tingkatan akal sebelumnya.
Secara garis besar jiwa mempunyai 3 potensi, yaitu jiwa nabati atau vegetatif yang berfungsi untuk pertumbuhan yang menyediakan makanan sebagai subsidi pada organ tubuh dan fungsi untuk mereproduksi ulang. Kemudian jiwa hewani, jiwa ini mempunyai organ-organ merasakan dan bergerak dengan kemauan sendiri. Yang terakhir adalah jiwa insani atau rasional, jiwa ini mempunyai potensi rasional yang memiliki organ-organ pekerja dengan pilihan yang rasional dan memiliki kemampuan untuk mengolah. Dari ketiga potensi jiwa tersebut, jiwa insani adalah tingkatan yang paling tinggi. Sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah jiwa nabati yang mempunyai 3 potensi, yaitu daya tumbuhan, nutrisi, dan reproduksi. Dengan daya ini manusia berpotensi makan, tumbuh, dan berkembangbiak dan hampir sama dengan tumbuhan tidak mempunyai perasaan dan bergerak secara bebas.
Jiwa hewani didukung oleh dua potensi yakni potensi pencerap dan potensi penggerak. potensi pencerap mencakup alat indera (eksternal) dan internalnya terdiri dari daya penghayal, menggambar, estimasi, dan mengingat. Sedangkan potensi penggerak terdiri atas daya pendorong yang berupa motivasi (iradah) dan daya berbuat yang berupa kemampuan (qudrah). Hubungan keduanya sangat ditentukan oleh kemauan, yaitu kecenderungan yang menguntungkan, merugikan, yang berupa emosi, dan amarah.
Secara sufistik, potensi kualitas jiwa manusia kaitannya dengan perilaku mempunyai tiga tingkatan, yakni:
a. jiwa yang penuh penyesalan, yakni jiwa yang menyadari pikiran-pikiran, keinginan-keinginan, dan mencela diri sendiri. Ini merupakan awal dari perjalanan rohani, karena pada taraf ini sebagai sebuah proses kembli pada Allah SWT dan proses penghilangan pelanggaran serta dosa-dosa. Penyesalan jiwa terhadap kesalahannya akan membawa pada tingkatan yang tenang.
b. jiwa yang tenang, yakni jiwa yang berada pada perkembangan jiwa tatkala mendapat ketentraman dan kedamaian karena Allah. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Fajr yang artinya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhamnu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr: 27-28)”
c. jiwa yang memerintah, yaitu jiwa yang menyuruh sesorang untuk melakukan kejahatan. Pada taraf ini termasuk orang-orang yang belum dimurnikan dari sumber segala perbuatan yang merupakan kemurkaan, kemarahan, dan keinginan untuk menguasai jiwa. Tingkatan ini adalah tingkatan yang paling rendah dari ketiga tingkatan jiwa diatas.
Potensi yang kedua adalah ruh. Ruh merupakan substansi yang terpisah dari materi dan tidak akan mudah rusak seperti badan. Peran ruh sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab tanpa ruh, manusia tidak akan dapat beraktivitas. Firman Allah dalam surat As-Shaf ayat 72, yang artinya:
“kemudian dia menyempurnakan dan menuipkan kedalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi kamusedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Shaf: 72)
Ruh akan muncul dan bersemayam bersama jasad manusia apabila jasad telah mencapai sempurna. Dan begitu juga ruh akan meninggalkan jasad jika organ-organ jasad tidak mampu lagi menjalankan mekanisme kehidupan.
Potensi fitrah mengacu kepada keutuhan manusia itu sendiri. Menurut Murtadha Muthahhari keutuhan fitrah itu mencakup:
1. Kebutuhan jasmani
Kebutuhan ini berkaitan dengan bangunan tubuh.
2. Kebutuhan rohani, berupa motif-motif suci yang terbagi dalam 5 kategori, yakni:
a) Mencari kebenaran
Mencari kebenaran adalah sesuatu yang disebut dengan istilah “pengetahuan” atau kategori “penalaran terhadap alam luar”. Motif ini mendorong manusia untuk memperoleh berbagai pengetahuan tentang alam, dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya.
b) Moral
Didalam diri manusia terdapat kecenderungan menyenangi kebajikan sebagai kebaikan spiritual. Kecenderungan moral berhubungan erat dengan upaya manusia mencari kebenaran. Kebenaran moral terkait dengan sikap dan perilaku, tolok ukurnya adalah baik dan buruk.
c) Estetika
Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan akhlak maupun keindahan dalam bentuk.
d) Kreasi dan penciptaan
Dalam diri manusia juga terdapat dorongan untuk membuat sesuatu yang baru. Manusia senantiasa terdorong untuk berkreasi guna memenuhi kebutuhan hidupnya.[14]
e) Kerinduan dan ibadah
Kerinduan dan ibadah merupakan bentuk kerinduan manusia kepada Allah SWT Sang Maha Pencipta.
Selain hal-hal yang dikemukakan diatas, dalam hubungannya dengan proses pengembangan manusia, M.J Langeveld mengemukakan 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan dalam diri manusia, yaitu faktor pembawaan, faktor lingkungan sekitar, faktor emansipasi (kehendak untuk bebas dari orang lain), dan faktor pengaruh dari usaha eksplorasi (penjelajahan terhadap keadaan dunia sekitar). Keempat faktor tersebut mempengaruhi terbentuknya pola kepribadian manusia dimasa dewasanya.[15]
F. Filsafat Pendidikan Islam tentang Pengembangan Potensi Manusia
Pandangan Islam tentang fitrah manusia memiliki implikasi bahwa seandainya seorang manusia dibiarkan saja tanpa menerima pendidikan, maka dengan sendirinya akan menjadi baik, karena manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali potensi kebaikan. Permasalahannya, setiap manusia tidak dapat melepaskan diri dari faktor lingkungan, baik itu lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, senantiasa mempengaruhi potensi baik manusia. Cara yang tepat untuk mengembangkan dan memelihara fitrah manusia ini ialah melalui pendidikan, karena pendidikan (At-Tarbiyah) mencakup berbagai dimensi: badan, akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuan-kemampuannya. Pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna, karena potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga.[16] Potensi baik manusia tidak akan berguna kalau tidak digunakan dan dikembangkan melalui pendidikan.[17]
Dengan adanya pendidikan ini maka dapat diketahui bakat dan kemampuan anak didik, sehingga bakat dan kemampuan tersebut dapat dibina dan dikembangkan. Dan menjadi tugas seorang pendidiklah untuk membantu anak didik agar mengetahui bakat dan kemampuannya. Pada dasarnya, tugas utama pendidikan ialah mengubah potensi-potensi manusia menjadi kemampuan atau ketrampilan yang dapat dimanfaatkan manusia. Potensi intelektual akan lebih berguna manakala sudah diubah, melalui proses pendidikan, menjadi penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan ini pada dasarnya merupakan hasil olahan dari upaya pengembangan potensi intelektual manusia yang dulunya masih terpendam.
Pendidikan pada hakikatnya bermaksud menyelamatkan dunia dari kehancuran. Pendidikan model barat, disatu sisi telah mampu mengeksploitasi potensi intelektual manusia, sehingga mampu melahirkan teknologi yang canggih. Tetapi disisi lain, pendidikan model barat telah melupakan aspek moral dan spiritual yang ada pada diri manusia. Akibatnya, mereka berhasil menciptakan manusia modern yang hidup dalam dunia teknologi, tetapi jiwa mereka dilanda suatu krisis, yakni krisis moral-spiritual. Mereka itu pandai, tetapi pada hakikatnya tidak pandai, karena berperilaku brutal dan tanpa moral.
Pendidikan Islam sesungguhnya merupakan solusi bagi penyakit yang menimpa manusia modern. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang dibangun atas dasar fitrah manusia. Pendidikan Islam bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan, dan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam selalu selalu berusaha menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek, yakni spiritual, intelektual, imajinasi, serta fisik untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan hidup manusia. Dengan kata lain, dalam pendidikan Islam, pengembangan potensi manusia tidak hanya dititikberatkan pada akal saja, tetapi juga pada akhlak dan amal.
Filsafat pendidkan Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi baik (fitrah). Potensi ini harus dikembangkan sedemikian rupa, agar manusia tetap berada dalam kebaikannya. Upaya pengembangan ini merupakan tugas utama pendidikan islam. Jadi, mendidik menurut Islam adalah usaha mempertahankan posisi manusia agar tetap dalam keadaan fitrah.lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat senantiasa dikondisikan agar manusia tetap dalam potensi baiknya. [18]
BAB III
KESIMPULAN
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang tertinggi dan termulia. Dia dianugerahi akal oleh Allah SWT yang membedakannya dengan makhluk Allah SWT yang lain. Dalam diri manusia juga terdapat potensi-potensi yang begitu luar biasa yang diberikan oleh Allah SWT sejak manusia dilahirkan. Unsur-unsur potensi tersebut tidak hanya dibiarkan begitu saja, namun harus mendapat perhatian yang lebih dan senantiasa dikembangkan. Potensi manusia dapat dibedakan menjadi tiga dimensi, yakni potensi jasad, jiwa, dan ruh. Dalam jiwa tersusun atas dua sub sistem, yakni qalb dan akal. Qalb merupakan elemen yang bersifat ruhani, dan mempunyai fungsi yang sangat penting, yakni sebagai alat untuk memahami realitas dan mempertimbangkan nilai-nilai serta memutuskan tindakan. Potensi ruh juga merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab tanpa ruh, manusia tidak akan dapat beraktivitas. Ruh merupakan substansi yang terpisah dari materi dan tidak akan mudah rusak seperti badan.
Potensi-potensi tersebut tidak lantas dibiarkan saja, namun terus dikembangkan karena setiap manusia tidak dapat melepaskan diri dari faktor lingkungan, baik itu lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, senantiasa mempengaruhi potensi baik manusia. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi pengembangan potensi manusia. Potensi baik manusia tidak akan berguna kalau tidak digunakan dan dikembangkan melalui pendidikan. Dan disinilah tugas pendidikan, yakni mengubah potensi-potensi manusia menjadi kemampuan atau ketrampilan yang dapat dimanfaatkan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Aziz, Abd. 2009. Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras
Haris, Abd. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Ihsan, Hamdani. 2001. Filsafat Pendidikan Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK. Bandung: Pustaka Setia
Jalaluddin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya. Jakarta: Kalam Mulia
Maragustam. 2010. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna. Yogyakarta: Nuha Litera
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Ramayulis. 2009. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia
Riyadi, Ahmad Ali. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Syaibani, Omar Muhammad Al Toumy Al. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Syar’i, Ahmad. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
[1] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hal. 14
[2] Abd. Aziz, Filsafat Pendidkan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 31
[3] Abd. Haris, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hal. 50-51
[4] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal.47
[5] Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hal. 65
[6] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,... hal. 48
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal. 90
[8] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,... hal.57
[9] Ihsan Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 57
[10] Omar Muhammad Al-Toumy Al- Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 156
[11] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,...hal. 57
[12] Ahmad Ali Riyadi, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 171
[13] Ibid., hal. 175
[14] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hal. 102
[15] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 58
[17] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hal. 94
[18] Ibid., hal. 96