Rouf 'Azmi Metode-metode Tafsir Alquran | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Sunday 9 January 2011

Metode-metode Tafsir Alquran


A. PENGERTIAN TAFSIR
Menurut bahasa Tafsir ialah al-fasr dan tabyiin (menjelaskan atau menerangkan) atau menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak. Makna inilah yang diberikan terhadap kalimat tafsir dalam QS. AI-­Furqan (25): 33.
ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Menurut istilah, tafsir ialah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang Alquranul Karim dari
segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah sekedar yang dapat disanggupi manusia”. Perkataan di “dalamnya” mengandung makna keadaan-keadaan Alquran memberi pengertian bahwa ilmu-ilmu yang membahas tentang keadaan-­keadaan yang lain, tidak masuk ke dalam bidang tatsir. Perkataan “dari segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah”, mengeluarkan ilmu-ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan Alquran dari jihad yang bukan jihad dalalahnya, seperti ilmu qiraat yang membahas tentang keadaan-keadaan Alquran dari segi cara menyebutnya, dan seperti ilmu rasmi al-Usmani yang membahas keadaan-keadaan Alquran dan segi cara menulis lafadh-lafadhnya.  Perkataan menurut “kemampuan sekedar kesanggupan manusia” memberikan pengertian bahwa tidaklah dipandang suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang mutasyabihah dan tidaklah dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui apa yang sebenarnya Allah kehendaki.
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafad-lafad Alquran, petunjuk­-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. Menurut az-Zarkasyi bahwa Tafsir ialah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.
B. MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah rangakain keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah Nabi saw, kata-kata sahabat atau tabi’in sebagai keterangan atau penjelasan maksud dari Allah (firman Allah), yaitu penafsiran Alquran dengan Assunah Nabawiyah. Dengan demikian maka tafsir bil ma’tsur adalah tafsir Alquran dengan Alquran, penafsiran Alquran dengan as-sunah atau penafsiran Alquran menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat, atau tabi’in. Contoh penerapannya dapat dilihat sewaktu membahas tentang “Modul Tafsir Bil Ma’tsur”.
Kedua macam tafsir tersebut di atas yaitu penafsiran Alquran dengan al­Alquran dan penafsiran Alquran dengan sunah merupakan jenis tafsir yang paling luhur dan tidak diragukan untuk diterima. Bentuk penafsiran yang pertama atau penafsiran Alquran dengan Alquran dikatakan penafsiran paling luhur karena Allah  lebih mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya. Demikian juga bentuk tafsir yang kedua yaitu penafsiran Alquran dengan Sunah itu dikatakan tafsir paling luhur karena Rasulullah saw sungguh telah dijelaskan tentang urgensi dan fungsinya oleh Alquran itu sendiri, di mana ditegaskan bahwa Rasul adalah berfungsi sebagai penegas dan penjelas Alquran. Dalam QS. Al-Nahl (16):44 disebutkan:
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Apa yang disampaikan oleh Rasul saw baik berupa penjelasan maupun keterangan yang sanadnya sahih dan benar maka hal demikian adalah termasuk yang tidak diragukan lagi akan kebenarannya dan patut untuk dijadikan pegangan.
Alquran ditafsirkan oleh  sahabat. Tafsir ini juga termasuk tafsir yang muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima karena sahabat adalah yang pernah berkumpul dengan Nabi saw dan mereka mengambil dari sumbemya yang asli, mereka menyaksikan turunnya Alquran dan mengetahui asbab al-nuzul. Mereka mempunyai tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus lagi pula berkedudukan yang tinggi dalam hal kefasihan dan kejelasan berbicara. Mereka lebih memiliki kemampuan memahami kalam Allah. Mereka mengetahui rahasia-rahasia Alquran sudah tentu akan melebihi orang lain yang manapun juga. Al-Hakim berkata:” Bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Alquran, kedudukan hukumnya adalah marfu’.” Artinya tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis nabi yang silsilahnya sampai kepada nabi. Karena itu maka tafsir sahabat adalah termasuk ma’tsur.
Adapun tabi’in, kedudukan tafsirnya ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat, tafsir tabi’in itu termasuk tafsir ma’tsur karena sebagian pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir tabi’in adalah termasuk tafsir dengan Ro’yu atau akal, dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir lainnya (selain nabi dan shahabat). Mereka menafsirkan ­Alquran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis).
Sebab-sebab kelemahan riwayat dengan Ma’tsur.
Penafsiran Alquran dengan Alquran dan penafsiran Alquran dengan Sunah yang shahih lagi marfu’ sampai kepada Nabi saw adalah tidak perlu diragukan lagi untuk diterima dan tidak perlu diperselisihkan. Dan keduanya adalah tafsir yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Adapun Alquran dengan ma’tsur  shahabat atau tabi’in ada beberapa kelemahan dari berbagai segi:
  1. Campur baur antara yang sahih dan tidak sahih, sahabat atau tabi’in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukan antara yang hak dan batil.
  2. Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyaat dan khurafaat yang bertentangan dengan akidah islamiah.
  3. Ketika di kalangan sahabat ada golongan yang ekstrim, mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat.
  4. Musuh-musuh Islam dari orang-orang zindiq ada yang mengicuh sahabat dan tabi’in sebagaimana mereka mengicuh Nabi saw perihal sabdanya, hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-buat hadis. Tentu hal ini perlu diwaspadai.
2. Tafsir Diroyah (ro’yu)
Yang dimaksud ro’yu di sisni ialah ijtihad yang didasarkan pada dasar-­dasar yang sahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir Alquran atau mendalami pengertiannya. Tidaklah yang dimaksud dengan ro’yu atau pendapat di atas semata-mata dengan ro’yu atau hawa nafsu, berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Berdasarkan pengertian di atas tafsir  ro’yu terbagi kepada dua macam, yaitu tafsir yang mahmuud (terpuji) dan tafsir yang madzmuum (tercela).
Tafsir mahmuud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang teguh pada uslub-uslubnya dalam memahami teks Alquran. Barang siapa yang menafsirkan Alquran menurut ro’yunya atau ijtihadnya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut serta berpegang pada makna-makna Alquran maka penafsirannya dapat diambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmud atau tafsir masyru’ (berdasarkan syari’at).
Sedangkan Tafsir Madzmum apabila Alquran ditafsirkan tanpa ilmu, atau berdasarkan hawa nafsi dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at, atau kalam Allah dan ditafsirkan menurut pendapat yang salah lagi sesat.
Hal-hal yang harus diperhatikan apabila seseorang menggunakan Tafsir Birro’yi yakni:
  1. Dikutip dari Rasul SAW dengan memperhatikan hadis-hadis yang dhaif atau hadis  maudhu’.
  2. Mengambil dari pendapat shahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’.
  3. Mengambilnya berdasarkan bahasa secara mutlak karena Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
  4. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuan syara’.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Alquran dengan ro’yu kepada dua pendapat:
  1. Tidak diperbolehkan menafsirkan Alquran dengan ro’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan, itulah pendapat sebagian ulama. Pendapat yang membolehkan penafsiran dengan ro’yu dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan, ini adalah pendapat dari kebanyakan ulama.
Ulama yang tidak membolehkan menafsirkan dengan ro’yu dengan alasan sebagai berikut:
  1. Tafsir dengan ro’yu adalah membuat-buat (penafsiran Alquran dengan tidak berdasarkan ilmu). Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah:
إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 169).

2. Sebuah hadis tentang ancaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul saw “Berhati-hatilah dalam mengambil hadisku kecuali benar-benar anda telah mengetahuinya. Siapa yang mendustakan secara sengaja maka bersedialah bertempat di neraka. Dan barang siapa menafsirkan menurut pendapatnya (ro’yunya) maka hendaklah dia bersedia menempatkan diri di neraka pula” (HR Turmudzy). Firman Allah swt:
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An-Nahl [16]: 44).
  1. Tugas menjelaskan Alquran dikaitkan kepada Rasul, karena itu dapatlah dipahami bahwa selain dari rasul tidak ada hak sedikitpun untuk menjelaskan makna Alquran.
  2. Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Alquran dengan ro’yunya, sehingga Abu Bakar Shidiq mengatakan : “Langit manakah yang akan menauingiku dan bumi manakah yang akan melindungiku bila aku tafsirkan Alquran menurut ro’yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul”.
Ulama yang membolehkan tafsir dengan ro’yu adalah golongan jumhur dengan beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Allah telah menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Alquran seperti firmanNya:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan membawa berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang­-orang yang mempunyai fikiran”. (QS Shad [38]: 29).

Tadabbur dan tadzakkur tidak bisa tanpa mendalami rahasia-rahasia Alquran dan berusaha keras dalam memahami artinya.

2.  Allah membagi manusia dalam dua klasifikasi, kelompok awam dan kelompok ulama. Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum. Firman Allah:
وإذا جاءهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ولولا فضل الله عليكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS An-Nisa: 83).
Makna istimbat pada ayat tersebut ialah menggali makna-makna yang mendetail dengan penuh pemikiran. Langkah tersebut dapat dicapai dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Alquran. Mereka berpendapat : ”Bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri tidak diperbolehkan, akibatnya hukum banyak yang terkatung-katung. Pada hal karena seorang mujtahid dalam hukum syara’ mendapat pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya, selama ia telah mencurahkan segala kemampuannya dan membuktikan kesungguhannya untuk mencapai yang hak dan benar.
  1. Para sahabat, mereka membaca Alquran dan ternyata mereka berbeda pendapat dalam cara penafsirannya. Dapat dimaklumi, karena mereka tidak mendengar seluruh yang mereka ucapkan tentang penafsiran Alquran dari Nabi saw.
  2. Nabi saw mendoakan Ibnu Abbas dengan sabdanya : “Ya Allah, berilah ia pengetahuan tentang agama dan ajarilah ia tentang ta’wil”. Bila yang dimaksud dengan ta’wil di sini hanya terbatas pada penyimakan dan kutipan sebagaimana Alquran, niscaya tidak ada faedahnya dalam mengkhususkan doa untuk Ibnu Abbas. Dengan demikian, dinyatakan bahwa ta’wil adalah penafsiran dengan ro’yu atau ijtihad.
C. MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
Macam tafsir berdasarkan metodenya antara lain ada empat macam yaitu (1) tafsir tahlily, (2) tafsir  Ijmaly, (3) tafsir muqaaran, (4) tafsir maudhu’i (tematik).
Tafsir Tahlily yaitu metode menafsirkan Alquran dengan cara mengkaji ayat-ayat Alquran dari segala segi dan makna, menafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf usmani. Untuk itu perlu menguraikan kosa kata dan lafadh, menjelaskan arti, sasaran yang dituju, kandungan ayat yaitu unsur ijaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistimbatkan dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah, perintah dan seterusnya serta mengemukakan kaitan antara ayat dan relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya, untuk itu merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat, hadis rasul, sahabat serta tabi’ in.
Dalam karya Nashiruddin Baidan secara panjang lebar dia menyatakan bahwa penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau rayi (pemikiran). Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk Al-ma’tsur ialah Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat Alquran karangan Ibn Jarir al­-Thabari (w. 310 H), Tafsir Alquran al-’Azhim (terkenal dengan Tafsir Ibn Katsir) karangan Ibn Katsir (w. 774 H), dan Al Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-­Ma-tsur karangan al-Suyuthi (w. 991 H). Adapun tafsir Tahlili yang mengambil bentukal-ra’yi antara lain: Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H), Al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari (w. 538 H), Tafsir al-Manaar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H)
Pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukilkan di atas terlihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran secara komperehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsurmaupu al-ra’yu. Dalam penafsiran ­Alquran dilakukan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula ikut diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan Nabi saw, sahabat, tabi’in, tabiut  tabi’in dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra, dan sebagainya, sehingga lahirlah berbagai corak penafsiran fiqh, sufi, fisafat, `ilmi, adabi wal  ijtima, dan lain-lain.
Di dalam tafsir bi-al-ma’tsur tetap ada analisis tapi sebatas adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran berhenti pula. Berbeda halnya dengan tafsir bi al-ra’yu, dimana penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidak adanya riwayat. Hal itu dimungkinkan karena fungsi riwayat di dalam tafsir bi al-ra’yi hanya sebagai legitimasi dan dalil bagi suatu penafsiran bukan sebagai titik tolak atau subjek.
Di dalam tafsir bi al-ra’yu yang menggunakan metode analitis ini para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interprestasi terhadap ayat-ayat Alquran selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar.
Di dalam tafsir tahlili, si mufasir relatif punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pernahaman ayat. Metodetahlili, tidak memerlukan perbandingan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, maupun antara berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan suatu ayat. Metode analitis amat berbeda dari metode tematik, khususnya dari sudut penetapan tema-tema atau topik-topik yang akan dibahas. Metode analitis menafsirkan ayat-ayat Alquran secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir dalam mushhaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan sebagai terlihat di dalam kitab-kitab tafsir analitis yang telah disebutkan di muka.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Analitis
1. Kelebihan
a. Ruang lingkup yang luas
Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya: ma’tsur dan ra’yiBentuk al-ra’yi dapat lagi di kembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Ahli bahasa, untuk menafsirkan Alquran dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi karangan Abu al-Su’ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyah, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya,  ahli filsafat, kitab tafsirnya di dominasi oleh pemikiran­-pemikiran filosofis seperti Tafsir al-Fakhr al-Razi. Ahli Sains dan teknlogi menafsirkan Alquran dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti  Tafsir Al-Jawahir karangan al-Thanthawi al-Jauhari.
  1. Memuat berbagai ide
Pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir. Dibukanya pintu selebar-lebar bagi mufasir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan Alquran. Maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti Tafsir al-Thabari (15 jilid), Tafsir Ruh al­-Ma’ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr al Ra-zi (17 jilid),  Tafsir al-Maraghi (10 jilid) dan lain-lain.
2. Kekurangan
a. Menjadikan petunjuk Alquran parsial
Metode analitis juga dapat membuat petunjuk Alquran bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Alquran memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
b. Melahirkan penafsiran subjektif
Metode analitis, sebagaimana telah disebut di muka, memberikan peluang yang luas sekali kepada musafir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan Alquran secara subjektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan Alquran sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
  1. Masuk pemikiran israiliaat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran israiliaat.
Urgensi Metode Analitis
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Alquran. Berkat metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besar. Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dipungkiri oleh siapa pun.
Dalam penafsiran Alquran, jika ingin menjelaskan kandungan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqh, teologi, filsafat, sain, dan sebagainya, maka di sini metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih dapat diandalkan daripada metode-metode yang lain.
2. Tafsir Ijmaly
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar, dengan cara mufassir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain selain anti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai urutan mushaf, setelah itu mengemukakan inti dalam kerangka uraian yang mudah.
Diantara kelebihan dari metode Ijmaly ialah praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyaat, dan akrab dengan bahasa Alquran. Sedangkan diantara kelemahannya ialah menjadikan petunjuk Alquran bersifat parsial dan tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.
3. Tafsir Muqaran
Yaitu metode menafsirkan Alquran dengan cara mengambil ayat Alquran kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir.
4. Tafsir Maudhu’iy
Yaitu metode menafsirkan Alquran dengan cara menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pendapat Alquran. Karena pentingnya metode ini akan dibahas secara tersendiri.
D. ILMU-ILMU YANG DIBUTUHKAN MUFASSIR
Seorang mufassir kitab Allah memerlukan beberapa macam ilmu pengetahuan yang harus dipenuhi sehingga ia benar-benar ahli dalam bidang mufassir.
Para ulama telah menyebutkan tentang macam-macam ilmu yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Menurut As-Suyuthi sebagai berikut:
  1. Mengetahui bahasa arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu, sharaf, etimologi). Hal ini sangat penting bagi seorang mufassir, sebab bagaimana mungkin memahami ayat, tanpa mengetahui perbedaan kata dan susunan kalimat.
  2. Mengetahui ilmu balaghoh (ma’any, bayan, badi’) sangat penting dan diperlukan bagi orang yang hendak menafsirkan Alquran karena ia harus menjaga atau memelihara bentuk kemu’jizatan.
  3. Mengetahui ushul fiqih (tentang khash, `am, mujmal, mufashal dan sebagainya), juga diperlukan oleh seorang mufassir dalam memahami Alquran supaya tidak keliru memahaminya, serta tidak terpeleset oleh kebodohan karena tidak tahu tentang ilmu-ilmu yang penting itu.
  4. Mengetahui asbabun nuzul.
  5. Mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
  6. Mengetahui ilmu qiraat.
  7. ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang diberi oleh langsung dari Allah. Ilmu yang diwariskan ole Allah kepada seseorang yang mengamalkan sesuai dengan ilmunya, serta Allah membukakan hati orang tersebut untuk memahami rahasia-rahasianya.
Syarat-syarat dari ilmu yang telah disebutkan tadi adalah untuk mewujudkan tafsir yang paling tinggi martabatnya. Tafsir yang paling tinggi martabatnya hanya dapat dicapai dengan kita melengkapi urusan-urusannya, yaitu:
a. Memahami hakekat lafal yang tunggal, yang terdapat di dalam Alquran dengan memperhatikan cara-cara ahli bahasa mempergunakan kalimat­-kalimat itu. Kebanyakan lafal-lafal Alquran dipakai di mana Alquran sedang diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu beberapa masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk makna-makna yang lain, umpamnya lafal ta’wil.
b. Memperhatikan uslub-uslub Alquran. Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat memahami uslub-uslub bahasa Arab yang tinggi. Untuk itu perlu ilmu i’rab dan ilmu asalib (ma’ani dan bayan).
c. Mengetahui keadaan-keadaan manusia. Allah telah menurunkan Alquran dan menjadikannya sebagai kitab yang absah, di dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan dalam kitab lain. Di dalamnya diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-­sunnah ketuhanan di dalam menciptakan manusia. Dan di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat yang telah lalu. Karenanya, perlulah orang memperhatikan isi Alquran, memperhatikan pula keadaan perturnbuhan dan perkembangan manusia dari zaman ke zaman.
d. Mengetahui jalan-jalan Alquran memberi petunjuk kepada manusia dengan Alquran. Karenanya, wajiblah bagi seorang mufassir yang melaksanakan fardhu kifayah ini mengethui keadaan manusia di masa Nabi saw, baik dari bangsa arab maupun bangsa lain. Dan bahwasanya Nabi saw dibangkit Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.
e. Mengetahui sirah ( riwayat hidup Nabi saw dan sahabat), dan bagaimana keadaan sahabat, baik dalam bidang ilmu, dan bagaimana mereka menghadapi masalah-masalah keduniaan dan keakhiratan.
E RINGKASAN
Berdasarkan sumbernya, tafsir ada dua macam yaitu tafsir ma’tsur dan ro’yu. Tafsir ma’tsur yaitu tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih, sedang tafsir ro’yu adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istimbat) yang didasarkan pada ro’yu saja.
Berdasarkan metode pendekatannya, tafsir ada empat macam yaitu tahlily, ijmaly, muqaaran, dan maudhu’iy dan lain-lain. Dari berbagai tafsir dilihat dari segi metodenya tentu terdapat keunggulan masing-masing dan kelemahannya. Yang terpenting para pembaca dapat memahami bagaimana proses pemakaian sebuah metode tafsir. Wallahu a’lam bishshawab
Yogyakarta, 27 Desember  2010

DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan Al’Ardl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta, Rajawali, 1994.
M. Hashbi Ash-Shiddigy, Ilmu-ilmu Alquran, Media-media Pokok Dalam Menafsirkan Alquran,Bulan Bintang, Jakarta, 1972
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1994.

Manna ‘ al-Qathan, Studi Ilmu-ilmu Alquran, Litera Antarnusa, Bogor, 1994.
Muhammad Aly Ash-Shobuny, Pengantar Studi Alquran, AI-Ma’arif, Bandung, 1987.
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 12:09 pm Kategori:

Comments
0 Comments