Rouf 'Azmi MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR (PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK) YANG BIJAKSANA | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Sunday 19 December 2010

MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR (PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK) YANG BIJAKSANA


A. Rasional

 Tulisan  ini akan mengungkap hakikat hikmah, kriteria pemilik hikmah, dan pemikiran pendidikan Islam tentang membentukan manusia pembelajar yang bijaksana. Pendekatan yang digunakan adalah tafsir tarbawy-tematik, sedangkan analisisnya menggunakan piranti filsafat pendidikan khususnya inkorporatif. Inkorporatif adalah  gagasan dari kajian teks Alquran mengenai hikmah, dilihat dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Pendidikan yang dimaksud di sini ialah pendidikan dalam arti luas yakni pendidikan adalah pengalaman hidup dan pengalaman hidup adalah pendidikan.

B. Pengertian dan Karakteristik Hikmah

Terma hikmah terulang sebanyak 20 kali dalam dua belas surah.[1] Term tersebut juga terdapat dalam Pancasila yakni  kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam kamus dan mu’jam, hikmah berarti kebijaksanaan (dari Allah); kesaktian; dan manfaat, makna yang dalam;[2] hikmah berarti perkataan  sesuai dengan yang sebenarnya; falsafah; perkara yang tepat, benar dan adil; ilmu; dan lemah lembut;[3] hikmah berarti mengetahui yang terbaik dari  sesuatu itu dengan pengetahuan yang terunggul; ilmu, kemampuan memahami, seperti  tersebut dalam QS. Luqman (31):12; keadilan; ’illah (sesuatu sebab); dan suatu perkataan yang sedikit lafalnya, tetapi agung/padat maknanya.[4] Jika kata hikmah dihubungkan dengan Allah, berati mengetahui sesuatu  dan menciptakannya  atas tujuan-tujuan hikmah, sedangkan kalau kepada manusia, hikmah berarti mengetahui yang ada dan perbuatan yang baik. Dan inilah yang  disifatkan kepada Luqman dalam QS. Luqman (31):12.[5] Karena itu pula orang yang punya hikmah akan terhindar dari kebodohan.[6] Dari berbagai kamus dan mu’jam tersebut, dapat diringkaskan bahwa pengertian hikmah adalah  mengetahui sesuatu  dengan pengetahuan yang sempurna; mengetahui hukum kausalitas;  ringkas perkataan, maknanya dalam, benar dan mencakup; keadilan dan kebenaran; mengetahui perbuatan yang baik; kemampuan memahmi, ilmu, dan falsafah; lemah lembut; dan  kesaktian.
Bagaimana hakikat dan karakteristik hikmah menurut  Alquran? Berikut ini ayat-ayat terpilih untuk dikonstruksi menjadi karakteristik pengertian hikmah.
Pertama:  Dalam QS. Luqman, [31]:12 berbunyi: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur  (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Menurut Ibnu Abbas makna hikmah dalam ayat tersebut ialah akal, kemampuan memahami dan kecerdasan. Al-Raghib mengartikannya dengan mengetahui segala sesuatu dan perbuatan yang baik. Abduh mengartikannya dengan suatu ungkapan  perbuatan yang suci dengan ilmu atau kesesuaian antara teori dan praktik.[7] As-Suddiy mengartikannya dengan  kemampuan memahami, dan akal,  Mujahid dengan kemampuan memahami, akal, perkataan yang benar tepat dan amanah dan  Qatadah mengartikannya dengan Islam sekalipun Luqman bukan seorang nabi dan tidak pula  menerima wahyu.[8] Ibnu Katsir  memaknainya dengan, kemampuan memahami, ilmu dan kemampuan menjelaskan.[9] Menurut Nashir ada beberapa pelajaran dari kisah Luqman yang menunjukkan  kepada hikmah. Yang terpenting ialah (1) tutur kata (gaya bahasa) yang baik, yakni seseorang dalam memilih kata-kata dapat merasuk ke dalam lubuk hati orang yang dinasehati; (2) berorientasi pada usul (inti persoalan) dari tauhid dan lainnya dengan tidak meninggalkan furu’ (contoh-contohnya), (3) ringkas, jelas dan menyeluruh, dan (4)  bahwa amar makruf nahi munkar bukanlah urusan yang mudah dan remeh, karena dikhawatirkan akan tergelincir. Dalam hal ini pemberi nasehat dapat mengatasinya dengan kesabaran, kerendahan hati, mengambil jalan tengah dalam setiap urusannya.[10]
Pada QS. Luqman (31):13-19, disebutkan cara Luqman menasehati anaknya dengan cara hikmah.  Pertama dia menggunakan bahasa yang baik yang mengandung cinta kasih, bersahabat dan akrab dengan ucapan ya> bunayya (wahai anakku). Ucapan ini mengandung makna bahwa Luqman menguasai akal dan hati anaknya, dan karenanya  ia sangat mudah untuk menerima  nasehat dan ajaran bapaknya, sebab yang melandasinya adalah kasih sayang dan kejiwaan, bukan berdasarkan otoritas dan hukuman. Biasanya suatu pekerjaan dilandasi dengan cinta kasih berimplikasi pada (1) keikhlasan, (2) kesabaran, (3) ketaatan dan (4) menjalankan tugas melebih dari yang seharusnya. Luqman menghimpun antara prinsip dan rincian, ucapan, perbuatan, keyakinan, perintah dan larangan. Ia melarang perbuatan syirik, kemudian menyuruh mendirikan shalat, mengingatkannya dengan keadilan Allah dan keluasan ilmu-Nya yang mencakup segala sesuatu. Lalu ia menyuruhnya untuk melaksanakan konsep amar makruf nahi munkar. Ia pun melarangnya untuk bersikap sombong dan angkuh. Bahkan ia menerangkan  bagaimana cara berjalan yang baik, suara yang seimbang, dan seirama dengan gendangnya. Kalau dihitung nasehat Luqman itu ada sepuluh, semuanya mencakup perintah, larangan dan kabar dalam arti perintah dan larangan. Semuanya itu dia paparkan dalam kalimat yang ringkas, padat, tapi jangkauannya luas, mencakup dan tetap indah, tidak dibuat-buat. Yang senada dengan pengertian hikmah dalam QS. Luqman (31):12 ialah QS. Maryam (19):12: Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah (pemahaman Taurat dan pendalaman agama) selagi ia masih anak-anak.
Menurut Thabathaba’i pengertian hikmah dalam  QS. Luqman (31):12 tersebut ialah kemampuan memahami, akal, hikmah, pengetahuan tentang etika (adab) berkhidmah, firasat (ilmu) yang benar dan kenabian. Akan tetapi kalau dilihat dalam QS. Jatsiyah (45):16 dan al-An’am (6):89, maka hikmah tidak dapat diartikan dengan kenabian, tidak juga  dengan mengetahui adab berkhidmah atau firasat yang benar atau akal karena tidak ada dalil dari sisi lafal dan tidak juga dari sisi makna.[11] Berarti Thabathaba’i mengartikannya dengan kemampuan memahami dan hikmah. Menurut Hasan, makna hikmah dalam QS. 19:12 ialah akal, Muqatil memaknainya dengan kemampuan memahami, mengetahui hukum-hukum dan hikmah.[12] Ibnu  Katsir memaknainya dengan kemampuan memahami, ilmu yang sesungguhnya, tekad, pengaruh dan bersungguh-sungguh dalam kabaikan. [13]
Kedua: Dalam  QS. Ali Imran (3):48 berbunyi: Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. Menurut Thaba’thaba’i hikmah dalam QS. Ali Imran (3):48 tersebut berarti pengetahuan yang bermanfaat yang berhubungan dengan keyakinan atau amal.[14] Al-Qasimi memakanainya dengan pendidikan akhlak.[15] Qatadah mengartikannya dengan sunnah.[16] Al-Maraghi mengartikannya dengan ilmu yang benar yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang bermanfaat dan  sesuai dengan jalan yang mustaqi>m (lurus dan benar) karena orang yang memiliki hikmah itu  paham betul dengan hukum-hukum dan rahasia-rahasia tasyri’.[17] Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa Kitab Taurat dan Injil sudah mencakup hikmah, tetapi karena hikmah itu penting maka disebutkan secara khusus. Maka hikmah itu merupakan kenabian dan pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan dan amal perbuatan (akhlak) serta sunnah.
Ketiga: Dalam QS. Al-Nisa’, (4):54 berbunyi: ”Ataukah mereka dengki  kepada manusia  (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia itu? Sesungguhnya Kami telah memberika Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” Menurut al-Thabari maksud hikmah dalam ayat tersebut ialah sesuatu yang diwahyukan kepada Ibrahim dan keluarganya sekalipun bukan berupa kitab yang dapat dibaca.[18] Makna hikmah dengan kenabian, kesempurnaan dan ketelitian amal perbuatan  juga terdapat dalam QS. Shaad (38):20 : Dan Kami kuatkan kerajaannya (Nabi Daud) dan Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal) dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.
Keempat: Dalam  QS. al-An’am (6):89 disebutkan: ”Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian.” Pengertian hikmah dalam ayat tersebut ialah kemampuan memahami. Dalam tafsir al-Manar disebutkan bahwa hikmah dalam ayat tersebut berarti mengerti terhadap kandungan kitab, dan mengetahui hukum-hukum yang ada padanya.  Abduh mengatakan,  bahwa hikmah  berarti ilmu yang pasti (kokoh) dan pengertian terhadap berbagai perkara. Berarti orang yang ilmunya tidak pasti (ragu dan  prasangka), bukanlah pemilik hikmah. Qasimi melihat adanya hubungan antara kitab dan hikmah yang disebut beriringan dalam beberapa ayat, khususnya yang berhubungan dengan kalimat ‘allama.   Bahwa mengajarkan kitab bukan hanya lafal-lafalnya, tetapi lebih jauh dari itu yakni sampai pada hakikat-hakikatnya.  Pengajaran demikian berfungsi melahirkan hikmah, yaitu ilmu yang paling mulia. Maka tepatlah firman Allah, barangsiapa yang diberi hikmah maka berarti telah diberi kebaikan yang banyak.[19] Dari sini dapat dipahami bahwa Allah memberikan  hikmah kepada para nabi, yaitu ilmu yang benar, pengertian terhadap masalah-masalah agama dan kemaslahatan berbagai keadaan dan kemampuan memahami kitab baik  yang diturunkan kepadanya maupun yang diturunkan  kepada nabi selainnya.[20] Mujahid mengartikannya dengan al-lubb (kecerdasan akal). Allah memberikan kepada nabi itu al-lubb untuk mempelajari kitab. [21] Dari penafsiran ini dapat digambarkan bahwa hikmah juga mencakup pengertian yang pasti benarnya serta mengerti pula kemaslahatan dan tujuannya.
Kelima: Dalam  QS. al-Baqarah (2):269 berbunyi: “ Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dihendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” Al-Maraghi memaknai hikmah dalam ayat tersebut dengan ilmu yang bermanfaat yang membekas  dalam diri, sehingga  berkehendak untuk beramal yang menarik seseorang sampai kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah memberikan hikmah itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sehingga dengan hikmah itu seseorang akan dapat membedakan berbagai hakekat kebenaran dan dapat pula membedakan mana yang was-was (bisikan syaitan ) dan mana pula ilham (bisikan malaikat) yang berasal dari Allah.  Sarana  mendapatkan hikmah  ialah  akal untuk mengetahui sesuatu lengkap dengan sebabnya dan pengertian berbagai perkara dengan hakekatnya. Ibnu Abbas mengartikan hikmah dengan mengetahui kandungan Alquran, seperti berupa petunjuk dan hukum-hukum lengkap dengan rahasia-rahasianya dan tujuan-tujuan, na>sikh mansu>kh, muhkam mutasy>abih, halal haram dan lain-lain.[22] Sementara itu Abduh menafsirkannya dengan ilmu yang saheh dan dapat merealisasikannya dalam amal perbuatan. [23]
Keenam: Dalam  QS. al-Nahl (16):125: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Menurut al-Kalabi bahwa hikmah dalam ayat tersebut berarti Alquran dan kenabian.[24] Al-Thabari dan Ibnu Katsir memaknainya dengan Alquran dan Sunnah.[25] Az-Zamakhsyari memaknainya dengan perkataan yang jelas dan benar yakni memberi sebab dalam menjelaskan kebenaran serta menghilangkan hal-hal yang syubhat (yang tidak jelas halal dan haramnya). [26]
Ibnu Qayyim menyimpulkan jika kata hikmah disertai kata kitab,  sebagian besar ulama memaknainya  dengan sunnah.  Namun ada juga yang memaknainya dengan penentuan hukum dengan wahyu. Kata sunnah berarti petunjuk, amal shaleh, akhlak dan tingkah laku.  Penafsiran pertama lebih umum dan masyhur. Kalau  kata hikmah tidak disertai dengan kata kitab, para  ulama memaknainya dengan Alquran, ilmu, fiqh, dan kebenaran ucapan dan perbuatan. Menurut Mujahid, bahwa hikmah merupakan pengetahuan memperoleh  kebenaran serta mengamalkannya, dan benar ucapan dan perbuatan. Semua ini tidak mungkin diperoleh tanpa memahami Alquran, syariat Islam dan hakekat iman. [27] Sunnah menurut Al-Thabari sewaktu dia menjelaskan makna hikmah pada QS. 2:231, adalah  jalan yang telah diajarkan Muhammad SAW dan telah meletakkannya sebagai jalan hidup manusia.[28] Sebenarnya  bahwa antara kitab dan hikmah  dua hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan kesempurnaan manusia. Sebagaimana  dikemukakan  oleh Al-Raziy sewaktu dia menafsirkan QS. Ali ‘Imran (3):164, bahwa kesempurnaan eksistensi manusia itu terletak pada dua perkara yaitu mengetahui yang benar karena zatnya dan mengetahui kebaikan karena mengamalkannya. Atau dengan ungkapan lain al-nafs al-insa>niyah terdapat dua kekuatan yaitu nazariyah (ilmiah teoritis) dan ‘amaliyah (perbuatan praktis).  Allah menurunkan  Alquran kepada Muhammad SAW agar menjadi sebab untuk menyempurnakan dua kekuatan ini.  Maka kalimat  (1) yatlu> ’alaihim aya>tih memberi  isyarat  agar wasiat Allah sampai  kepada makhluknya, kalimat (2) wa yuzakki>him memberi isyarat kepada kesempurnaan kekuatan ilmiah teoritis karena  mengetahui hal-hal yang bersifat ila>hiyah,  kata (3) wa al-kita>b memberi isyarat kepada fenomena syariat, dan kalimat (4) wa al-hikmah memberi isyarat kepada kebagusan  syari’ah, rahasia-rahasianya, illat-illatnya dan kemanfaatannya. [29]
Dari berbagai penafsiran tersebut diatas maka pengertian hikmah baik kata hikmah itu diiringi kata kita>b maupun tidak, hikmah berarti:
Pertama: nazariyah (ilmiah teoritis) dan ‘amaliyah (perbuatan praktis) yaitu ilmu yang benar, bermanfaat, mendalam dan tepat karena memahami Alquran, syariat Islam dan hakekat keimanan, kecerdasan akal, keahlian, petunjuk, firasat, ilham, sesuai kata dan perbuatan, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Pengertian ini mengandung makna yang saling terkait dan berdekatan. Pengertian tersebut membawa implikasi kepada sifat manusia bijaksana yaitu menghias diri dengan akhlak mulia dan menutupi segala penyebab dosa dan dosa itu sendiri, tampil dengan tepat dan bijaksana serta teliti dalam segala hal,  menempatkan segala sesuatu secara proporsional, berbuat secara seimbang (adil), kesesuaian antara ilmu dan amal, mengerti mana yang benar salah, sebab-sebab, rahasia-rahasia, dan tujuan-tujuan sesuatu itu sekaligus melaksanakannya,  memahami  Alquran dan kitab-kitab lainnya  serta segala sesuatunya dengan benar, memberikan sesuatu sesuai haknya, tidak melewati batasnya, sesuai dengan tujuan-tujuan penciptaannya, memisahkan mana yang hak dan batil, amar makruf nahi munkar dan sifat-sifat positif lainnya.
Kedua: Kenabian.  Allah memberi wahyu kepada Nabi  dan Rasul-Nya  serta diberikan hikmah. Semua nabi diberikan hikmah itu yaitu berupa ilmu yang saheh, pemahaman yang mendalam terhadap perkara-perkara agama dan urusan-urusan yang harus diperbaiki  serta pemahaman yang mendalam kepada kitab-kitab  baik yang diturunkan kepadanya maupun kepada  nabi dan rasul lainnya. Karena nabi dan rasul diberikan  hikmah, maka mereka itulah orang-orang yang paling sempurna diantara  manusia. Diantara rasul itu paling sempurna ialah ulu al-‘azmi. Dan diantara ulu al-‘azmi itu yang paling sempurna ialah Nabi Muhammad SAW. Memang umat Islam adalah umat terbaik diantara umat-umat sebelumnya (QS. Ali Imran [3]:110 ).
Dari pengertian hikmah tersebut, dapat dijelaskan bahwa kepemilikan hikmah mempunyai peran penting menunjang kualitas seseorang. Sebagian orang mendapatkan hikmah dan ada yang tidak. Kepemilikan hikmah disamping otoritas pemberian Allah,  juga atas usaha  manusia. Dari sini dapat dipahami gambaran Ibnu Qayyim tentang pembagian hikmah dan tingkatannya. Hikmah ada dua yakni nazariyah (ilmiah teoritis) dan amaliyah (perbuatan praktis).  Yang dimaksud dengan hikmah ilmiah  ialah kemampuan menelaah kandungan segala sesuatu dan mengatahui hubungan sebab  akibat dari penciptaan, perintah, qadar dan hukum syariat.  Sedangkan hikmah amaliah ialah  menempatkan sesuatu secara proporsional. Sedangkan tingkatan hikmah ada tiga tingkatan; (1) memberikan hak kepada segala sesuatu, tidak melampawi batasnya, tidak mendahului waktunya, dan tidak pula terlambat atau mengakhirinya; (2) bersaksi melihat kebenaran janji Allah, mengetahui  keadilan pada hukum-Nya, merasa kebaikan Allah pada larangan-Nya. Diantara pengertian-pengertian tingkatan ini adalah ungkapan Ahlul-Itsbat wa Assunnah, yaitu bahwa hikmah  adalah maksud-maksud yang terpuji yang diwajibkan oleh Allah dari ciptaan dan perintah-Nya. Allah memberikan perintah untuk itu, telah menciptakan dan menakdirkan karena untuk itu; (3) memperoleh firasat dalam mencari dalil, menemukan kebenaran, dan mencapai tujuan. Maksudnya ialah bahwa mencapai derajat ilmu yang paling tinggi dalam mencari bukti-bukti (dalil-dalil), di mana kedudukan firasat (ilham) dengan ilmu adalah seperti pandangan dan penglihatan. Inilah karakteristik yang dimiliki oleh banyak sahabat dan yang melebihkan mereka dari umat lainnya. Derajat inilah  derajat ulama yang paling tinggi. [30]

C.  Pendidikan Islam Mencetak Manusia Bijaksana (Insa>n Haki>m

Pendidikan adalah kehidupan, dan kehidupan adalah pendidikan. Pada prinsipnya pendidikan dapat dilihat dari dua segi yakni pendidikan dalam arti luas dan pendidikan dalam arti sempit. Dalam arti luas pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan baik teratur maupun tidak. Sedangkan  dalam arti sempit pendidikan ialah segala aktivitas yang dilakukan secara terencana baik transfer transfer of knowledge (alih pengetahuan), transfer of value (alih nilai), transfer of culture (alih budaya), dan transfer of methodology (alih metode) maupun transformatif yakni hal-hal yang diterima menjadi milik peserta didik dan dapat membentuk pribadinya.
Ada empat visi pendidikan UNESCO (United Nations Educational, Scientific And Organization) untuk abad ke-21. Empat visi itu ialah  (1) learning how to learn (belajar bagaimana belajar), (2) learning how to do (belajar bagaimana mengerjakan), (3) learning to be, (belajar menjadi dirinya yang sesungguhnya, bukan manusia imitasi) (4) learning how to live together (belajar bagaimana hidup bersama dengan orang lain). Empat visi ini secara integral menjadi keharusan dalam mencapai hikmah.
Dari pembahasan yang dahulu dapat dijelaskan bahwa manusia bijaksana itu dapat diperoleh oleh siapa saja sekalipun dia bukan seorang nabi dan rasul, asalkan belajar secara terus menerus sesuai dengan sunnatullah dan mendapat rida Allah, sebagaimana tersirat dalam QS. al-Baqarah (2):269.  Maka pada garis besarnya insa>n haki>m itu diberikan Allah kepada dua kelompok manusia yaitu para nabi dan rasul,  dan manusia biasa (bukan nabi dan rasul), tetapi mereka mengikuti keteladan para nabi  dan rasul, sehingga  pribadi mereka mencerminkan ciri-ciri para nabi dan rasul. Karena itu hikmah tidak akan dianugerahkan  kepada setiap orang, akan tetapi terlahir dari sejumlah faktor dan sebab yang merupakan anugerah dan rahmat Allah, seperti Luqman (QS. Luqman [31]:12). Sebenarnya siapa Luqman itu, perlu dijelaskan di sini sebagai bahan mencari sifat-sifatnya sehingga seseorang punya prasyarat mendapatkan hikmah. Dengan mengetahui riwayat Luqman ini dan berbagai penafsiran para ahli tentang ayat-ayat hikmah berarti akan dapat dirumuskan langkah-langkah strategis mendidik pembelajar menjadi  menusia bijaksana.
Menurut Wahab, Luqman adalah  anak saudara perempuan Nabi Ayyub, sedangkan menurut Muqatil, Luqman adalah anak bibi dari Nabi Ayyub.  Menurut al-Sahiliy bahwa Luqman itu anak Unqa bin Sarun dan ada yang mengatakan dia salah satu anak dari  Azir. Luqman hidup seribu tahun.  Nabi Daud  masih bertemu dengan Luqman dan memperoleh ilmu daripadanya. Namun menurut al-Wakidiy bahwa Luqman itu hidup antara masa Nabi Nabi Isa  dan Muhammad SAW.  Mayoritas  ulama berpendapat bahwa Luqman hidup pada masa Nabi Daud dan bukan seorang nabi, tapi seorang hamba (budak). Menurut al-Alusiy, Luqman adalah  seorang laki-laki yang shaleh  lagi bijaksana, tetapi  bukan seorang nabi.[31]
Dalam tafsir Ibnu Katsir dan al-Thabari dikemukakan bahwa para ulama salaf berbeda pendapat mengenai Luqman, apakah ia seorang nabi ataukah  hamba  yang shaleh tapi bukan nabi. Menurut mayoritas ulama, Luqman bukanlah seorang nabi.  Menurut Ibnu Abbas, Luqman itu orang Negro (Habsyi) yang pekerjaanya sebagai tukang kayu. Menurut Ibnu Musayyab, Luqman diberikan hikmah tetapi tidak diberikan kenabian. Menurut Mujahid, Luqman adalah hakim (qadhi) bagi Bani Israil pada masa Nabi Daud.  Menurut Khalid al-Rabi’iy, jika Luqman kedatangan tamu, lalu tamunya itu meminta disembelihkan kambing, dia langsung menyembelihnya. Menurut Abu al-Dardai, bahwa Luqman adalah teguh pendirian, tidak tidur, pendiam, lama berpikir, mendalam pandangannya, tidak tidur di siang hari, tidak pernah orang  melihat dia meludah, mengeluarkan dahaknya, buang air kecil dan besar, mandi, bersenda gurau yang tidak berguna, ketawa-tawa, dan mengulang-ulang pembicaraan kecuali dia berkata yang  penuh hikmah yang menuntut mitra bicaranya perlu pengulangan.[32] Dalam tafsir  Mawardiy, disebutkan bahwa hikmah yang terdapat dalam QS. Luqman itu, menurut al-Suddiy ialah al-fahm dan kecerdasan akal. Menurut Mujahid ialah pemahaman, kecerdasan akal, dan ketepatan dalan perkataan. Dan menurut pengarang tafsir sendiri  ialah amanah. Pada penggalan ayat tersebut  Allah menyuruh Luqman untuk bersyukur. Maka  Luqman  memuji-Nya atas pemberian nikmat-nikmatnya, dia tidak maksiat dalam pemakaian  nikmat-nikmat itu (menempatkan nikmat-nikmat sesuai dengan kehendak pemberi-Nya), dia berkeyakinan  bahwa tidak ada sekutu apapun terhadap Allah dalam memberikan nikmat kepadanya, dan dia selalu taat kepada-Nya terhadap apa yang diperintahkan.[33]
Pada QS. Al-Baqarah (2):269 disebutkan bahwa Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya  dan pada penghujung ayat diakhiri dengan, bahwa ulu al-ba>blah yang  dapat  mengambil pelajaran.  Dari ayat ini dapat dipahami bahwa  prasyarat mendapatkan  hikmah itu  antara lain dengan taz\akkur dan tafakkur dan proses taz\akkur dan tafakkur ini  ditentukan oleh keteguhan iman dan kecerdasan akal (alba>b, yang mufradnya lubb).  Oleh karena itu tidak mungkin seseorang mendapatkan hikmah itu  kalau dia tidak teguh imannya dan cerdas akalnya.  Sifat ulu al-ba>b ini  antara lain terdapat pada QS. az-Zumar (39) : 17-18: “Dan orang-orang yang menjahui Thagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi  mereka berita gembira;  sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku,  yang mendengar  perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah  diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang ulu al-ba>b (yang mempunyai akal).” Demikian juga disebutkan dalam  QS. Ali Imran (3):191: Ulu al-ba>b yaitu  orang-orang yang mengingat Allah ( z\ikrullah ) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Tuhan kami, tidakkah Engkau menciptakan  ini sia-sia, Maha Suci  Engkau, maka peliharalah  kami dari siksa neraka”.
Dari dua ayat tersebut manunjukkan bahwa ulu al-ba>b yang diproyeksikan mendapatkan hikmah itu jika melakukan kegiatan berpikir dan  berdzikir, yang dari dua kegiatan ini akan mewujudkan kesadaran ruhani mengenai berbagai hakekat, mengerti hukum kausalitas dan rahasia-rahasia ciptaan Tuhan.  Pada QS. 19:12-14  Allah memberikan hikmah  kepada Yahya (yang masih kecil belum diangkat menjadi nabi). Allah menggambarkan Yahya sebagai orang yang bertakwa, berbakti kepada orang tua, tidak sombong dan tidak pula durhaka.  Ini semua merupakan gambaran tentang prasyarat  yang harus dimiliki  seseorang  pemburu hikmah yakni mencerminkan sifat-sifat yang menonjol yaitu (1) bertakwa dan shaleh; (2) menghiasi diri dengan akhlak mulia seperti dermawan, ikhlas, siap menghadapi berbagai  ujian dan pengalaman (sabar), adil, teliti, selalu mujahadah, doa, rendah hati dan lain-lain dan menghindari diri dari segala sifat tercela seperti sombong, syirik, dengki dan lain-lain; dan (3) memiliki kecerdasan akal  yang proses  aktualisasikannya memahami ayat-ayat Ilahiyah, ayat-ayat Kauniyah dan ayat-ayat Insaniyah yang disertai pula aktivitas  zikrullah. Atau ringkasnya, merupakan prasyarat untuk  menjadi insa>n haki>m ialah pertama, mencontoh sifat-sifat Tuhan, Pemilik Asma>’ al-Husna> sesuai dengan kapasistas kemanusiaannya, atau dengan kata lain  seseorang berusaha menyamai/menyerupai  Tuhan dengan sepenuh kemampuan manusia yang dalam hadis disebutkan, ”hendaklah kamu berakhlak dengan akhlak Allah.” Kedua, dirinya mencerminkan dan mencontoh keteladanan para nabi khususnya Nabi  Muhammad SAW.
Dari berbagai prasyarat tersebut maka seseorang yang akan mendapatkan hikmah itu menempuh langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
Langkah 1: Naz}ariyah (ilmiah teoritis). Seseorang harus learning how to learn yakni segera belajar mengetahui sesuatu dan kemampuan memahami makna dan nilai di balik kejadian/tersurat, mengetahui hubungan sebab  akibat dari penciptaan, perintah, qadar dan hukum syariat. Untuk itu dia haruslah memiliki akal yang cerdas. Dengan akal yang cerdas, ia mampu memahami hukum kausalitas, menelaah kandungan sesuatu secara benar dan menangkap isi dari ayat-ayat Ilahiyah, ayat-ayat Kauniyah dan ayat-ayat Insaniyah, mampu bertutur kata (gaya bahasa) yang baik, yang merasuk ke dalam lubuk hati mita bicaranya, berorientasi pada inti persoalan dengan tidak meninggalkan contoh-contohnya dan  ringkas, jelas dan menyeluruh. Orang bodoh tidak mungkin dapat berbuat seperti itu.
Langkah 2: Amaliyah (perbuatan praktis) atau learning to do adalah kemampuan berbuat disertai dengan pemikiran, action in thinking, and  learning by doing. Seseorang tidak hanya mempunyai semangat berfikir tetapi juga mampu melakukan apa yang diketahui dengan terampil, ahli,  dan professional, bertindak by design. Seseorang dapat menempatkan sesuatu secara proporsional. Berani berbuat dalam kehidupan praktis akan membekali seseorang segudang pengalaman. Pengalaman merupakan guru terbaik. Artinya setiap seseorang mengalami suatu peristiwa diikuti dengan analistis kritis dengan naz}ariyah, reflection dan penghayatan, dapat menjadi pembelajaran yang berharga untuk aksi-aksi ke depan. Belajar dari universitas kehidupan akan mendidik seseorang memiliki kapabilitas hikmah.
Langkah 3: Belajar menjadi diri yang memiliki hikmah (learning to be) sebagai implikasi dari naz}ariyah dan amaliyah.  Seseorang mengetahui jati dirinya (kekuatan dan kelemahan), bukan bayang-bayang orang lain. Pembelajar mampu mengaktualisasikan diri di tengah-tengah masyarakat yang plural dan di lingkungan perubahan dan kompetetif tetapi tetap memiliki kepribadian yang utuh, percaya diri, mengetahui strategi mengoptimalkan potensi dirinya, bukan manusia yang imitasi, meniru dan membeo. Pembelajar  memberikan hak kepada segala sesuatu, tidak melampawi batasnya, tidak mendahului waktunya, dan tidak pula terlambat atau mengakhirinya, mengerti betul kebenaran janji Allah,  keadilan pada hukum-hukum-Nya, merasakan kebaikan Allah pada larangan-Nya, maksud-maksud yang terpuji yang diwajibkan oleh Allah dari ciptaan dan perintah-Nya. Allah memberikan perintah untuk itu, telah menciptakan dan menakdirkan karena untuk itu; dan memperoleh firasat dalam mencari dalil, menemukan kebenaran, dan mencapai tujuan. Pemburu hikmah haruslah dua kapabilitas dimiliki yakni naz}ariyah dan amaliyah yang berakhir kepada mencontoh asma>’ al-h}usna> (nama-nama Tuhan yang agung) sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaannya.
Langkah 4: Memupuk diri dengan kualitas iman-takwa/spiritual  yang mumpuni. Bingkai spiritual  akan membuat seseorang berpikir jernih, merespon sesuatu dengan ikhlas dan cinta, merefleksikan sesuatu secara tepat, bertindak terukur dan bertanggungjawab terhadap lingkungannya, belajar hidup bermasyarakat (learning to live together), kesesuaian antara kata dan perbuatan dan selalu mengolah batinnya dengan berdzikir. Disamping itu, orang yang bertakwa tetap  kokoh sekalipun ditimpa oleh berbagai ujian, akhlaknya terpuji sekalipun mengahadapi gelombang globalisasi dan segala dampaknya, dan tetap menghindari dari akhlak tercela.   Menjadi educated perseon yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya. Pembelajar bertanggung jawab terhadap tindakan manusiawinya, bukan berarti tidak pernah salah. Tindakan salah adalah benar apabila seseorang bertanggung jawab dan menyadari kesalahannya. Lalu dari kesalahan itu, seseorang mengadakan reflection yang akhirnya taubat dan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan empat langkah pendidikan tersebut mengantarkan seseorang  menjadi insa>n haki>m.

D. Rangkuman

Dari berbagai pembahasan maka dapat dirangkum bahwa pada garis besarnya  kata hikmah dalam Alquran kebanyakan diiringi  dengan kata kitab. Kalau hikmah diiringi dengan kata kitab mayoritas ulama mengartikannya dengan “sunnah”. Sedangkan jika kata hikmah tidak disertai dengan kitab, dimaknai dengan Alquran, ilmu, kemampuan memahami, kebenaran ucapan dan perbuatan, kesesuaian ilmu dan amal. Secara ringkas hikmah adalah ilmu, kecerdasan-akal, memahami hukum kausalitas, tentang rahasia-rahasianya, tentang tujuan dari sesuatu, tentang kemaslahatan dibalik yang tersurat/kejadian dan tentang etika; kesesuain teori/kata dan praktik;  sedikit kata padat makna, jelas, benar dan mencakup; keadilan dan kebenaran; spiritualitas;  kenabian dan sunnah;  lemah lembut; dan tindakan yang tepat. Mendapatkan hikmah merupakan otoritas Allah, disamping usaha manusia itu sendiri sebagai prasyarat. Insa>n haki>m itu mencerminkan pribadi yang berilmu mendalam, manfaat, benar, tepat setelah melalui proses memahami Alquran dan Sunnah dan sunnatullah; mengerti hakekat kebenaran dan sunnatullah, tujuan-tujuannya, rahasia-rahasianya dan manfaatnya; cerdas akalnya, teliti dan ahli; mendapatkan anugerah, filsafat, ilham dan petunjuk; terdapat kesesuaian antara kata dan perbuatan; menempatkan sesuati sesuai dengan  haknya secara seimbang dan  adil; lemah lembat,  menghiasi  diri dengan akhlak  terpuji dan menghindar diri  dari akhlak tercela. Cara untuk memperoleh hikmah ialah empat langkah pendidikan. Dengan kata lain untuk mendapatkan hikmah itu adalah seseorang berakhlak  dengan akhlak Tuhan dan meneladani pribadi luhur Nabi Muhammad SAW. Benar apa yang disabdakan Nabi SAW bahwa hikmah dapat menambah (derajat) seorang terhormat dan mengangkat (derajat) seorang hamba sahaya sehingga ia dapat menduduki kedudukan raja (penguasa)”. (HR. Abu Na’im dan Ibnu Abdi). Wallohu A’lam Bishshawab.

[1]Baqi al, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu’jam al-Mufakhras li al Faz} al-Qura>n al-Kari>m, (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M), h. 211-212.
[2]Peter Salim dan Yenni Salim, Bahasa Indonesia Kotemporer,  (Jakarta: Modern English  Press, 1991), h. 527.
[3] Ma’lu>f, Loes, al-Munjid fi<> al-Lugah wa al-A’la>m, (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1987), h.146.
[4]Ibrahim Musthafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasi>t}, (Taheran, Al Maktabah al-Ilmiyah, tt.), Juz ke-1, h. 189.
[5]Asfahaniy al, al-Raghib, Mu’jam  Mufrada>t Alfa>z al-Qura>n, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 126.
[6]Abu  Hasan Ahmad bin Paris bin Zakariya, Mu’jam  fi> al-Lugah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414  H/1994 M), h. 277
[7]Alusiy al-Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Bagdadiy, Ru>h al-Ma’aniy fi Tafsi>r   al- Qura>n  al-Azi>m wa al-Saba’ al- Mas\aniy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1994 M), Jilid ke-12, h. 126.
[8]Mawardi al, Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammadbin Habib al-Bashariy, Al- Nuktu wa al- ‘Uyun Tafsi>r al-Mawardiy, (Beirut: Dar al-Kutb al ‘Ilmiyah, Beirut,tt.) Jus ke-3, h. 25.
[9]Ibnu Katsir, Imam al-jalil al-Hafidz ‘Imadudin Abil Fida Ismail, Tafsi>r al-Qura>n  al-‘Azim, (Singapura, Sulaiman Mar’i, tt.), Juz ke-13, h. 444.
[10]Nashir  bin   Sulaiman  al-Umar,  al-Hikmah (Edisi Indonesia), (Bandung:  Pustaka     Hidayah, 1995), h. 47.

[11]Thaba’thaba’ial, Al-Sayyid Muhammad Husain, Al-Miza>n fi Tafsi>r al-Qura>n, (Beirut: Mansturat Muwassasah, 1411 H/1992 M), Jilid ke-4, h. 18-19.
[12] Mawardi, al-Nukt, Jilid ke-3, h. 36.
[13] Ibn Katsir, Tafsir, Juz ke-3, h. 113.
[14] Thaba’thaba’i al, al-Miza>n, Jilid ke-3, h. 60.
[15]Qasimiy al, Muhammad Jamal al-Din, Tafsi>r al- Qa>simiy, (Mesir: Dar al-Ihya al- kutub Al-Arabiyah, 1958), juz ke-2, h. 103.
[16]Thabari al, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsi>r al-T{abariy al-Musamma Jami’ al  Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qura>n, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), Jilid ke-3, h. 273.
[17]Maraghi al, Ahmad Musthafa, Tafsi>r al-Maragi, (Mesir: Al-Baby al-Halabi wa Syirkah, 1972). Juz ke-3, h. 153
[18] Thabari, Jami’, Jilid ke-4, h. 143.
[19] Al-Qasimi, Maha>sin, Juz ke-2, h.  260
[20]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran hakimal-Syahir bi Tafsrir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), jilid ke-5, h. 259.
[21] Thabari, Jami’ , Jilid ke-5, h. 259.
[22] Maraghi, Tafsir, Jilid ke-3, h. 40-42; Thabari, Jami’, Jilid ke-2, h. 60.
[23] Muhammd Rasyid Ridha, Tafsir, Jilid ke-1, h. 75.
[24] Mawardi, al-Nukt, Jilid ke-3, h. 220.
[25] Thabari, Jami’, Jilid ke-7, h. 131; Ibn Katsir, Tafsir, Jilid ke-2, h. 572.
[26]Zamakhsyari al, Abi Qashim Jarullah Mahmud bin Umar,  Al-Kassy>af ‘an Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Iwan al-Aqail  Wuju>h al- Ta’wi>l, (Mesir: Musthafa al-Babi   al-Halabi, 1966), Jilid ke-3, h. 435.

[27]Ibnu al-Qayyim al Jauziyah, Madarij al-Shalikih, (Beirut: Dar al Kutub al-Hikmah, tt.), h. 498.
[28] Thabari, Jami’, Jilid ke-2, h. 496.
[29]Raziy al, Imam Muhammad,Tafsi>r al-Fakhr al-Raziy al-Mutysahar bi al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr,Beirut, 1415 H/1995 M), h. 73.

[30] Ibnu  Qayyim, Madarij, h. 502.
[31] Alusi,  Ru>h, Jilid ke-12, h. 125-126.
[32] Ibnu Katsir, Tafsir, Jilid ke-3, h. 443; Thabari, Jami’, Jilid ke-10, h. 208.
[33] Mawardi, al-Nukt, Jilid ke-4, h. 332

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 7:36 am Kategori:

Comments
0 Comments