Rouf 'Azmi Daya Kemukjizatan Alquran | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Sunday 19 December 2010

Daya Kemukjizatan Alquran


Sebuah literatur luas yang dikenal sebagai I’jaz Alquran. Didalamnya dikemukakan doktrin bahwa Alquran tidak dapat dipalsukan. Doktrin ini bersumber dari Alquran sendiri karena Alqur’an menyatakan dirinya sendiri sebagai mu’jizat yang unik dari Muhammad SAW.[2] Statemen ini sangat strategis dalam menghadapi orang-orang yang meragukan dan tidak mempercayai kebenaran Muhammad saw sebagai rasul dan kebenaran Alquran sebagai wahyu.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu
Hurairah, Nabi bersabda yang artinya : “Tidak seorangpun dari para Nabi kecuali diberi mu’jizat agar dipercayai oleh orang banyak. Dan sesungguhnya yang diberikan padaku ialah berupa wahyu dari Allah yang aku mengharap kiranya akulah yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.[3] Hadis ini menunjukkan bahwa mu’jizat merupakan sesuatu yang strategis bagi seorang Nabi dan Rasul, sebagai pemberian Allah, bukan sesuatu yang diusahai.
Menurut Az-Zarqani bahwa mu’jizat adalah sesuatu yang tak mungkin ditandingi oleh manusia baik secara pribadi maupun kolektif. Dia merupakan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan, artinya tidak terikat oleh hubungan sebab akibat yang dikenal oleh manusia. la merupakan pemberian Allah swt kepada Nabinya sebagai bukti kebenaran risalahnya.[4] Selanjutnya As-Suyuthy mengatakan bahwa mu’jizat adalah suatu perkara yang luar biasa disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.[5]
Menurut Manna’ alQaththan, bahwa I’jaz (kemu’jizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemu’jizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud dengan I’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul Allah dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mu’jizatnya yang abadi yaitu Alquran, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.[6] Sementara As-Shobuni mengatakan bahwa mu’jizat dinamakan mu’jizat (melemahkan) karena manusia lemah untuk mendatangkan sesamanya, sebab mu’jizat berupa hal yang bertentangan dengan adat , keluar dari batas-batas faktor yang telah diketahui. I’jaz Alquran (kemu’jizatan Al­Qur’an) berarti menetapkan kelemahan manusia secara terpisah-pisah maupun berkelompok untuk bisa mendatangkan sesamanya.[7]
Yang dimaksud “melemahkan” bukanlah melemahkan dalam arti yang sebenarnya tetapi menjelaskan bahwa Alquran itu adalah benar dan rasul yang menerima juga benar.[8] Dari berbagai penjelasan di atas dapat digambarkan bahwa I’jaz Alquran merupakan bukti nyata kebenaran wahyu Allah dan Rasul penerimanya. Mu’jizat tersebut bukanlah sesuatu yang diperoleh berdasarkan penelitian dan pengalaman tetapi merupakan pemberian Allah kepada rasulNya dengan tujuau-tujuan tertentu. Dia bukanlah hukum kausalitas ataupun berdasarkan adat atau pola pikir lainnya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa sesuatu itu baru dikatakan mempunyai i’jaz (melemahkan) apabila terpenuhi tiga hal yaitu (1) bertanding, artinya minta berlomba, bertempur dan menyanggah, (2) terdapat keinginan yang membawa sikap bertanding itu kepada perlombaan, perkelahian dan penyanggahan, dan (3) meniadakan yang menghalangi perlombaan ini.[9]
Adanya tantangan dari Alquran terhadap orang-orang Arab khususnya, dan manusia pada umumnya untuk membuat semisal Alquran. Padahal Alquran itu dibawa oleh seorang yang ummi, tidak bisa baca tulis, tidak pernah belajar di suatu sekolah, tidak pernah dinyatakan bahwa ia pernah menerima suatu ilmu pengetahuan dari salah seorang ulama yang pandai dan menonjol dalam berbagai segi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan tidak pemah pula bertemu dengan salah seorang ahli kitab, sehingga ini bisa memperlihatkan berita-berita umat terdahulu dan kabar dari nabi-nabi yang lampau.
Rasulullah saw telah meminta orang Arab atau generasi-generasi sesudahnya menandingi Alquran dalam tiga tahapan:
Pertama : Menantang mereka dengan seluruh A1-Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tantangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firmanNya :
قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا
“Katakanlah : Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa denganya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”( QS. Al-Isra [17]: 88 ).

Kedua: Menentang mereka dengan sepuluh surah saja dari A1-Qur’an, dalam firmanNya QS. Hud (11) : 13 :
أم يقولون افتراه قل فأتوا بعشر سور مثله مفتريات وادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين
“Ataukah mereka mengatakan Muhammad telah membuat-buat Alquran itu. Katakanlah: (Jika demikian), maka datangkanlah sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.
Ketiga: Menantang mereka dengan satu surah saja dari Alquran, dalam firmanNya:
أم يقولون افتراه قل فأتوا بسورة مثله وادعوا من استطعتم من دون الله إن كنتم صادقين
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” QS. Yunus  (10) :38

وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. QS. Al-Baqarah (2):23.

Mengenai ketidakmampuan bangsa Arab dan generasi sesudahnya untuk membuat semisal Alquran, Manna’ al-Qaththan berkomentar bahwa bangsa seperti bangsa arab, dengan terpenuhinya potensi kebahasaan dan kekuatan retorika yang dinyalakan oleh semangat kesukuan dan dikobarkan oleh tungku fanatisme, andaikata telah dapat menandingi Alquran tentu hal demikian akan menjadi buah bibir dan beritanya akan tersiar di setiap generasi. Sebenarnya mereka telah menelaah ayat-ayat Kitab, membolak baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya. Sebaliknya, yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat Alquran menggoncang hati mereka, seperti yang terjadi pada Walid bin Mughirah. Dan di saat tidak sanggup lagi berdaya upaya , mereka melemparkan kepada Alquran itu kata-kata yang membingungkan. Mereka mengatakan, “Qur’an adalah sihir yang dipelajari, karena penyair gila atau dongengan bangsa purbakala”. Mereka tidak dapat menghindar lagi di hadapan kelemahan dan kesombongannya selain harus menyerahkan leher kepada pedang seakan-akan keputusan yang mematikan tekad memindahkan para penderitanya dari pandangan mereka terhadap kehidupan panjang dan umur panjang ke saat kematian yang mendadak. Dengan demikian terbuktilah sudah kemujizatan Alquran tanpa diragukan lagi.[10]
Selanjutnya, Alquran secara terus menerus menantang semua ahli kesusastraan Arab supaya ditandingi. Tapi tak seorangpun mampu menjawab tantangan tersebut. Bahkan mereka tidak sanggup lagi menirunya karena Al­quran memang berada di atas puncak yang tak mungkin diungguli, dan Alquran memang bukan kalimat manusia.[11]
Faktor kedua yaitu adanya pendorong untuk bertanding di kalangan orang-orang Arab, betul-betul terjadi, karena Nabi saw datang kepada mereka dengan membawa agama baru yang dapat menghancurkan agama mereka, menganggap bodoh pikirannya, menundukkan tuhan dan patung-patungnya serta menjadikan mereka bahan tertawaan di antara manusia.
Rasul Muhammad saw berkata kepada mereka: Sesungguhnya hujjah atas kebenaranku adalah kitab yang diwahyukan Allah kepadaku ini, maka apabila kalian tidak membenarkanku, dalam hal tersebut, aku akan mengajak bertanding kepada kalian untuk mendatangkan semisalnya atau semisal satu surah Alquran. Kalau kalian lemah, maka itu berarti tanda kebenaranku dan dalil missiku kepada kalian.[12]
Mengenai faktor ketiga yaitu hilangnya segala rintangan. Tidak adanya hal yang melarang mereka untuk menandingi Alquran, karena Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yaitu bahasa mereka, lafadznya dari huruf-­huruf Arab, dan redaksinya memakai uslub orang Arab. Sebagaimana yang dikatakan As-Shobuni bahwa orang-orang Arab itu adalah ahli bahasa dan berkemampuan untuk melahirkan syair dan prosa dan merasa unggul dalam bidang kepasehan.[13] Itulah bahasa asasinya yaitu bahasa A1-Qur’an yang dengannya mereka merasa berbangga, berlomba, mengadakan hiburan dan berkumpul dalam tempat-tempat acara untuk mendengarkan qasidah dan pidato yang menarik, dan membuat ucapan dengan kalimat dan syair-syair yang indah.
Realitasnya, sekalipun tiga faktor tersebut terpenuhi namun tetap saja orang­orang Arab dan generasi sesudahnya tidak mampu membuat semisal Al­Qur’an. Ini berarti menyatakan bahwa Alquran adalah merupakan wahyu yang diturunkan dari Rabbul `Alamin.
Di samping tiga faktor tersebut sebagai syarat untuk dikatakan bahwa sesuatu itu punya daya i’jaz, juga para ulama memberi kriteria khusus terhadap sesuatu itu disebut mu’jizat yaitu (1) mu’jizat harus berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh selain Allah swt, (2) tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam, (3) mujizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang yang mengaku risalah Ilahi sebagai bukti atas kebenaran dari pengakuanya, (4) terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat tersebut, (5) tidak akan ada seorangpun yang dapat membuktikan dan menandingi dalam pertandingan tersebut.[14]
Pengertian mu’jizat berdasarkan kriteria tersebut bisa dibuktikan dengan mu’jizat yang diberikan Allah swt kepada para nabiNya yang terdahulu. Seperti mu’jizat Nabi Musa as  berupa tongkatnya menjelma menjadi ular, tangannya bisa putih bercahaya (QS 7:107-108). Mu’jizat Nabi Isa berupa ia bisa menciptakan burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahir, menghidupkan orang yang telah mati (QS Al-’Araf (3) :107-108 dan QS Ali Imran:49). Sepanjang catatan sejarah belum ada ahli sihir yang bisa mengalahkan tongkat Nabi Musa as, belum ada orang yang bisa menghidupkan orang mati. Begitu pula halnya dengan mu’jizat yang diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw berupa Alquran, belum ada yang dapat mengalahkannya, meskipun membuat satu surah saja semisal Alquran.
Hanya saja ada perbedaan antara mu’jizat nabi-nabi terdahulu dengan mukjizat Nabi SAW, mukjizat nabi-nabi terdahulu disebut “hissiyah” yang dibatasi oleh waktu dan tempat.[15] Sedangkan mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw adalah mu’jizat yang bersifat “aqliyah” yang tak dapat diketahui kecuali dengan pemahaman dan ini kekal sampai hari kiamat.[16] Mu’jizat-mu’jizat nabi-nabi terdahulu diberikan mengingat akal manusia pada waktu itu pada fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang lebih menarik hati selain mu’jizat-mu’jizat alamiah yang hissi (indrawi) karena akal mereka belum mencapai puncak ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran maka yang paling relevan ialah jika setiap rasul itu hanya diutus kepada kaumnya secara khusus dan mu’jizatnyapun hanya berupa sesuatu hal luar biasa yang sejenis dengan apa yang mereka kenal waktu itu. Sementara itu ketika akal mereka telah mencapai taraf sempurna maka Allah mengumandangkan kedatangan risalah Muhammad saw yang abadi kepada seluruh umat manusia. Serta mu’jizat bagi risalahnya juga berupa mu’jizat yang ditujukan kepada akal manusia yang telah berada dalam tingkat kematangan dan perkembangan yang paliag tinggi.[17]
Dan uraian-uraian di atas dapat digambarkan bahwa mu’jizat yang ada pada nabi-nabi bukanlah diperoleh karena pengalaman dan keahlian atau sesuatu yang dipelajari tetapi semata-mata pemberian Allah swt. Maka setiap mu’jizat yang diterima oleh para nabi bukanlah ciptaan mereka. Perbedaan mu’jizat yang diterima para nabi tersebut karena adanya perbedaan waktu, karakteristik ummat yang dihadapi, sifat keberlakuan, dan tempat di mana rasul diutus. Mu’jizat Alquran bertujuan untuk membuktikan bahwa Alquran adalah benar-benar wahyu Allah, bukan ciptaan Muhammad SAW. Selain itu kemu’jizatan Alquran juga bertujuan pembuktian pembenaran Rasulullah saw dalam hal ini Az-Zarqani menjelaskan bahwa tujuan utama dari kemu’jizatan Alquran adalah untuk menampakkan (membuktikan) bahwa alQur’an itu benar. Manusia dapat merasakan kelemahannya dengan adanya mu’jizat Alquran itu, kemudian dapat mempercayai bahwa Alquran itu benar-benar wahyu Allah Yang Maha Kuasa. Yang penting mereka mendapat petunjuk hidup dan membenarkan kedatangan Nabi Muhammad saw yang mempunyai tugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.[18] Hal ini difirmankan Allah:
الر كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور بإذن ربهم إلى صراط العزيز الحميد
Alif Lam Raa, (ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan Yang Kuasa lagi Maha Terpuji (Ibrahim [14]:1).
B. Segi-segi Kemukjizatan Alquran
Di antara orang-orang yang ahli bahasa Arab, dan yang memahami keunggulan bahasa ini dari bahasa-bahasa lainnya ada kesepakatan bahwa di dalam keindahan bahasa, gaya dan kekuatan ekspresinya, Alquran merupakan sebuah dokumen yang tak ada tandingannya.[19] Az-Zarqani menyebutkan bahwa susunan bahasa Alquran sangat indah dan berbeda dengan gaya bahasa yang sudah dikenal dalam bahasa Arab, kefasihannya dapat meyakinkan orang bahwa Alquran bukan berasal dari manusia.[20] Selain itu as-Shobuni menjelaskan bahwa Alquran bisa melemahkan makhluk dari segi uslubnya, keindahan dan kejelasannya, ilmu pengetahuan dan hikmah-hikmahnya, pengaruh petunjuknya dan masa datang.[21] Menurut Manna al-Qaththan bahwa ada tiga macam aspek kemu’jizatan A1-Qur’an yaitu aspek bahasa, aspek isyarat ilmiah dan aspek tasyri’i al-hukmi (penetapan hukum).
Aspek bahasa: Meskipun bahasa Arab waktu turunnya Alquran telah tumbuh dan berkembang meningkat tetapi dihadapan Alquran, dengan kemu’jizatan bahasanya, ini menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut terhadap uslub Alquran, bertekuk lutut di hadapan bayan qur’ani.
Aspek isyarat ilmiah: Mengenai kemu’jizatan Alquran secara ilmiah ini terletak pada dorongannya kepada ummat Islam untuk berpikir di samping membukakan bagi mereka pintu-pintu pengetahuan dan mengajak mereka memasukinya, maju di dalamnya dan menerima segala ilmu pengetahuan baru yang mantap dan stabil.
Aspek penetapan hukum: Sedangkan kemu’jizatan Alquran di bidang tasyri’i al-hukmi terlihat bahwa Alquran merupakan perundang-undangan hukum yang paripurna yang menegakkan kehidupan manusia di atas dasar konsep yang paling utama. Dan tidak seorangpun dapat mengingkari bahwa al­qur’an telah memberikan pengaruh besar yang dapat mengubah wajah sejarah dunia.[22]
Selanjutnya beberapa segi kemu’jizatan yang lebih rinci dikemukakan oleh As-Shobuni bahwa (1) susunan kalimat-kalimat Alquran yang indah, berbeda dengan setiap susunan yang ada dalam bahasa Arab; (2) adanya uslub yang aneh yang berbeda dengan uslub-uslub bahasa Arab; (3) sifat yang agung yang tidak mungkin bagi seorang makhluk untuk mendatangkan sesamanya; (4) bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna yang melebihi setiap undang-undang bikinan manusia; (5) mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu, tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya; (6) menepati janji dan ancaman yang dikhabarkan Alquran, adanya ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya (ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum); (7) memenuhi segala kebutuhan manusia; (8) berpengaruh kepada hati pengikut atau  musuh.[23] Salah satu contoh kemu’jizatan Alquran ialah mengabarkan hal-hal ghaib, seperti bangsa Rumawi yang telah dikalahkan oleh bangsa Persi akan menang beberapa tahun kemudian. FirmanNya QS Ar-Rum  (30): 2-4 :
غلبت الروم  في أدنى الأرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون في بضع سنين لله الأمر من قبل ومن بعد ويومئذ يفرح المؤمنون

Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang beriman.

Menurut catatan sejarah kekalahan bangsa Rumawi adalah antara tahun 614-615 M, sedangkan kemenangannya di peroleh tahun 622 M. Kekalahan bangsa Rumawi itu, menimbulkan rasa duka cita di kalangan kaum muslimin. Kemudian turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa bangsa Rumawi sesudah kalah itu akan mendapat kemenangan dalam masa beberapa tahun saja. Hal ini benar-benar terjadi pada tahun 622 M. Dengan kejadian yang demikian nyatalah kebenaran Muhammad saw sebagai nabi dan rasul dan kebenaran Alquran sebagai firman Allah.
C. Paham ash-Shirfah tentang Mukjizat
Menurut Abu Ishaq Ibrahim an Nizam dan pengikutnya dari kaum Syi’ah saperti Imam Murtadla berpendapat, kemu’jizatan Alquran adalah dengan cara shirfah (pemalingan).
Arti shirfah dalam pandangan an-Nizham ialah bahwa Allah memalingkan orang Arab untuk menantang Alquran padahal sebenarnya, mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa (mu’jizat). Sedang shirfah menurut pandangan al-Murtada ialah, bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi Alquran agar mereka tidak mampu membuat yang seperti Alquran. Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ini masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan (mu’jiz) adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian Alquran bukanlah mu’jizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemu’jizatan al-­Qur an, bukan kemujizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.[24] Ini berarti, kemu’jizatan Alquran bukan karena Alquran itu sendiri melainkan perkara lain di luar Alquran, yaitu adanya penghalang yang menghalangi mereka untuk membuat tandingan. Penghalang itu tidak lain adalah pemeliharaan Allah terhadap Alquran dari usaha-usaha orang-orang yang ingin menandinginya. Andaikata halangan itu tidak ada, tentu saja manusia akan dapat membuat sesuatu yang seperti Alquran itu pada dasarnya tidak melebihi kemampuan mereka dari segi balaghah dan nazhamnya.[25]
Mengomentari pendapat an Nizham itu Qadi Abu Bakar al-Baqillani, salah satu hal yang membatalkan pendapat shirfah ialah, kalaulah menandingi Alquran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mu’jizat, melainkan shirfah itulah yang mu’jizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain. Pada hal dalam kenyataannya bahwa kalam Allah tidak ada seseorangpun yang dapat membuat semisalnya, dan aspek-aspek lain kemukjizatan Alquran.
Pendapat shirfah ini juga ditolak oleh Alquran sendiri dalam firmanNya:
قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن لا يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا
“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (QS Al- Isra’(l7) :88).

Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kekuatan. Dan seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan orang-orang mati. Sedang kelemahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut disebut-sebut. Menurut as-Shobuni bahwa berdasarkan catatan sejarah, orang-orang Arab pra Islam adalah orang yang ahli mengukir dalam bentuk kefasihan bahasa. Pendapat shirfah ini adalah pendapat yang batal.[26]
D. Ringkasan
Dari berbagi uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :
Pertama: Mu’jizat Alquran ialah menampakkan kebenaran Nabi Muhammad saw dalam pengakuannya sebagai seorang rasulNya dengan menampakkan kelemahan manusia dan generasi-generasi berikutnva baik secara terpisah maupun berkelompok untuk menghadapi mu’jizat yang abadi, yaitu Alquran. Sesuatu itu baru dapat dikatakan mu’jizat apabila telah terpenuhi tiga hal yaitu (1) adanya tantangan; (2) adanya yang mendorong untuk mengajak tantangan dan (3) tidak ada yang menghalang-halangi untuk menantang.
Kedua: Bukti-bukti daya kebenaran kemu’jizatan Alquran dapat dilihat antara lain dari aspek bahasanya/linguistiknya, aspek isyarat ilmiahnya, aspek penetapan hukum dan aspek prediksinya tentang hal-hal yang ghaib.
Ketiga: Daya kemu’jizatan Alquran bertujuan untuk membuktikan bahwa Alquran benar-benar wahyu Allah dan membuktikan kebenaran rasul Allah. Manusia dapat merasakan kelemahannya dengan adanya mu’jizat Alquran dari zat Alquran itu sendiri. Bukan karena faham as-shirfah yang tidak etis dan tidak argumentative. Demikianlah tulisan  ini di buat semoga ada manfaatnya.
Wallahu A’lam Bishshawab

DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab Khallaf Syaikh, Ilmu Usul Fikih,_Halimuddin (penterjemah), Rineka Cipt, 1990.

Depag RI, Al-Qur ‘an Dan Terjeemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al­Qur’an Depag RI, Jakarta, 1980.

Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, Anas Mahyuddin (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983.

Hussein Bahreisyi, Himpunan Hadits Shohih Bukhari, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981.

Malik Bin Nabi, Fenomena Alquran, Soleh Mahfoed, Al-Ma’arif, Bandung, 1983.

Manna al-Qaththan, Mahahits Fii Ulum AI-Qur’an, Huquq al-Thab’ Mahfudzah, Riyadl, tt.

Shobuni ash, Muhammad Aly, At Thibyaan fi Ulumil Qur’an, Darul Irsyad, ‘Alamul Kutub, Mekkah, 1985.

Shubh al-Shalih, Mabahits fii  Ulum Alquran, Darul Ilmi Iii Malayiin, Beirut, 1977.

Suyuthi as,  Al-Itqan Fi Ulum Alquran, Darul Fikri, Lebanon, 1979.

Zarkasyi, Badruddin Muhammad Bin Abdullah, Al-Burhan Fi Ulum Al­Qur’an, Darul Hayah, Kutubil Arabiyah, 1956.

Zarqoni az, Muhammad Abdul Azhim, Manahilil Irfan Fi Ulum Alquran, al­Baby al-Halaby, tt.

[1]Muhammad Abdul Azhim Az -Zarqani, Manahilil Irfan Fi Ulum Alquran, al-Baby al­-Halaby, hal. 24.

[2]Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, Anas Mahyuddin (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983, hal.152.

[3] Hussein Bahreisyi, Himpunan Hadis Shoheh Bukhari, Al-Ikhlash, Surabaya, 1981, hal. 308.
[4]Muhammad Abdul Azhim Az Zarqani, Op.cit., hal.72.
[5] Suyuthy As, Al-Iiqaan Fi Ulum Alquran, Darul Fikri, Lebanon, 1979, hal 116.

[6] Manna Al-Qaththan, Mahabits fi Uluum AI-Our’an, Huquq al-Thab’ Mahfudzah, Riyald, tt, hal. 258-259.
[7] Muhammad Ali As-Shobuniy, At Thibyan fi Ulum al-Our’an, Darul Irsyad, ‘Alamul Kutub, Mekkah, 1985, hal. 89.
[8] Muhammad Abdul Azhim Az -Zarqani, Op.cit., hal. 331.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Syakh, Ilmu  Usul F’ikih, Halimuddin (penterjemah), Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 19.
[10] Manna AI-Qaththan, Op.cit., hal. 260.
[11]Shubh AI-Shalih, Mahabits fi Uulum A!-Our’an, Darul lhya Lil Malayiin, Beirut, 1977, hal. 313.
[12] Muhammad al-Shobuni, Op.cit., hal. 97.
[13] Ibid. hal. 98.
[14] Ibid., hal. 97.
[15] Sayuthi al, Op.cit., hal. 116.
[16]Badruddin Muhammad Bin Abdullah Az-Zarkasyi, AI-Burhan fi Ul-um Al-Our’an, Darul Hayah, Kutubil Arabiyah, 1956, hal 90.
[17]Manna Al-Qaththan, Op.cit., hal. 256-257

[18]Muhammad Abdul Azhim Az -Zargani, Op.cit., hal. 331.

[19] Fazlur Rahman, Op.cit., hal.101.
[20]Muhammad Abdul Azhim Az -Zarqani, Op.Cit., hal. 331
[21] Muhammad al-Shobuni, Op.cit., hal. 98.
[22] Manna al-Qaththan, Op.cit., hal. 264-280.
[23]Muhammad Abdul Azhim Az -Zarqani, Op.Cit., hal. 331

[24] Manna al-Qaththan, Op.cit., hal. 261.
[25] Muhammad Abdul Azhim Az -Zarqani, Op.Cit., hal. 414.

[26] Muhammad Ali al-Shobuni, Op.Cit., hal. 100.

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 7:33 am Kategori:

Comments
0 Comments