Rouf 'Azmi Lanjut Baca [riligiousitas Anak] | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Wednesday 3 February 2010

Lanjut Baca [riligiousitas Anak]

Baca Paragraf Sebelumnya: Klik Disini

1.      Peran Kognisi dalam Perkembnagan Reliositas Anak. Konsep tentang nilai-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar individu.
Pada usia anak menurut Plaget perkembangan kognisi mengalami empat dari lima fase perkembangan berikut ini yaitu :
a.       Period of sensorimotor adaption, birth – 2 years. Anak sedang dalam proses mengaktifkan semua alat inderanya untuk berfungsi secara baik dalam menyerap informasi.
b.      Development of symbolic and preconceptual thought, 2-4 years. Pengalaman keagamaan terbentuk melalui pembiasaan perilaku dan pnyerapan terhadap semua sikap dan perilaku keagamaan dari orang-orang terdekat dalam keluarga.
c.       Period of intuitive thought, 4 – 7 years. (Sama dengan fase b).
d.      Period of concrete operations, 7 – 12 years. Anak sudah mampu memahami makna suatu masalah dengan menggunakan logika, misalnya melalui klasifikasi sederhana atau prinsip reversibilitas.
e.       Period of formal operation, 12 – through adules cence. Fase kognisi pada usia remaja dimana anak sudah mampu memahami keagamaan dari segi fungsi dan maknanya bagi kehidupan manusia.
2.      Peran Hubungan Orang Tua dengan Anak dalam Perkembangan Religiositas. Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak[2].. Melalui hubungan dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep religiositas baik yang berkaitan dengan konsep-konsep keimanan(belief&faith), ibadah(ritual), maupun muamalah (ethic&moral).
Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak. Hal pertama yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya yang akan menimbulkan emosional tertentu sehingga mempengaruhi situasi emosi dan sikap anak terhadap obyek yang menjadi perantara hubungan tersebut (Lugo, 1974, hlm 160). Hal yang kedua yaitu kualitas religiositas orang tua. Semakin tinggi tingkat religiositas orang tau akan semakin tinggi ekspresi perilaku keagamaannnya sehingga mudah teramati dan terserap oleh anak.
3.      Peran Conscience, Guilt dan Shame dalam Perkembangan Religiositas. Conscience(kata-hati) adalah kemampuan untuk mengerti tentang benar dan salah, baik dan buruk. Guilt(rasa bersalah) adalah perasaan yang tumbuh setelah terbentuk kata hati-hati, yaitu perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak berperilaku tidak sesuai dengan kata hatinya. Shame(rasa malu) yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraa penilaian negatif dari orang lain pada dirinya(Hurlock, 1978, hlm. 389).
Kata-hati, rasa-bersalah, serta rasa-malu dalam perkembangan religiositas adalah mekanisme jiwa yang terbentuk dalam proses internalisasi nilai-nilai keagamaan pada usia anak. Clark menyatakan bahwa kapasitas untuk memiliki kata-hati adalah potensi bawaan bagi setiap manusia, tetapi substansi dari kata-hati merupakan hasil dari proses belajar.[3]
Sebagai pengontrol perilaku kata-hati baru berfungsi ketika anak memasuki awal usia remaja. Pada usia anak perilaku individu pada awalnya lebih banyak diatur dan dibatasi oleh aturan dari lingkungannya. Kemudian secara pelan, ketika mulai terjadi proses internalisasi nilai dan norma, perilaku anak juga mulai dikontrol oleh diri sendiri. Pada waktu anak memasuki usia remaja kata-hati harus sudah banyak mengontrol perilaku mereka. Setelah individu sudah memasuki usia dewasa, sekitar usia dua puluh tahun, kata-hati harus sudah berfungsi sebagai internalized policemen.[4]
4.      Peran Interaksi Sosial dalam Perkembangan Religiositas Anak. Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu dengan kelompok kawan sepermaian dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai berikut. Pertama, melalui interaksi sosial anak akan mengetahui apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standard nilai religiositas dalam keluarga diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya(Hurlock, 1978, hlm.390). Oleh karena itu interaksi sosial dapat juga melemahkan proses penanaman nilai-nilai religiositas yang telah terjadi dalam keluarga.

C.    KASUS PERKEMBANGAN RELIGIOSITAS ANAK
Kasus ini saya ambil dari penggalaman pribadi dimana ketika saya masih berusia 4 tahun perhatian orangtua terhadap perkembangan kognisi, fisik, maupun rasa agama sangat tinggi, sehingga orang tua saya selalu mengingatkan waktunya sholat dan mengajak sholat berjamaah dimasjid meskipun saya belum mengerti syarat dan rukun sholat. Dengan sabar kedua orang tua saya mengajari membaca Iqro’,[5] membaca surat-surat pendek dan do’a-do’a selamat. Selain beajar di rumah, saya juga belajar di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), disini saya juga mendapatkan pelajaran membaca Iqro’, menghafal doa-doa, belajar tata cara sholat dan yang membuat hati nyaman  serta gembira disana saya bisa belajar dengan teman-teman sepermainan.
Setelah sekian lama belajar di rumah dan di TPA (Taman Pendidikan al-Qur’an) saya mendapatkan pengalaman belajar yang sangat memuaskan sehingga pada umur 6 tahun saya sudah  mampu membaca Iqoro’ dengan lancar dan melanjutkan jenjang berikutnya yakni mulai membaca al-Quran juz 1 dan alhamdulillah saya juga sudah bisa menjalankan sholat dengan baik serta dapat melaksanakannya tepat waktu sehingga tak jarang orang tua saya sering memuji saya dengan pujian motivasi agar saya lebih meningkatkan ketakwaan kepada Alloh SWT.
Selanjutnya ketika saya menginjak usia 10 tahun rasa agama yang tertanam sejak dini itu dikit demi sedikit mulai terkikis karena semakin sedikitnya perhatian orang tua dalam mengingatkan saya untuk sholat dan faktor lain yakni seringnya bermain dengan teman-teman sebaya yang notabennya kurang mengerti terhadap pengetahuan agama, pada saat itulah saya sering telat melaksanakan sholat malah kadang-kadang tidak melaksanakan sholat dan ketika ditanya oleh orang tua saya apakah sudah melaksanakan sholat? Jawab saya sudah melaksanakan sholat padahal kenyataannya saya belum melaksanakannya.
Pada suatu hari saya bermain dengan teman saya yang pandai rajin dan dia hafidz al-quran namanya Faiz dia anak dari kiyai terkemuka di desa saya. Kita bersama-sama diajak nonton VCD Siksa Kubur oleh ayah faiz. Di film tersebut ada mayat yang di siksa oleh malaikat tubuhnya hancur berkeping-keping karena ia sering meninggalkan sholat. Setelah selesai menonton film tersebut ayah faiz menasehati kami agar selalu ingat alloh dimanapun berada serta jangan sesekali pun meninggalkan sholat karena adzab Alloh sangat pedih di neraka. Setelah itu saya sadar bahwa saya sering meninggalkan Sholat dan sering berbohong kepada kedua orang tua kemudian apa jadinya tubuh saya besok di akhirat kalau sering meninggalkan sholat dan terus berbohonh kepada orang tua?. Saya berjanji untuk tidak mengulanginya lagi serta selalu meningkatkan keimanan kepada Alloh SWT agar dicintai Alloh SWT seperti ayahnya Faiz. Itulah sedikit cerita rasa agama yang telah saya alami pada masa usia 10 tahun sampai akan menginjak usia 11 tahun dan syukur alhamdulilah hingga kini saya selalu ingat sholat dan tidak pernah meninggalkan sholat. Karena menurut saya sholat adalah kebutuhan primer rohani saya dan jika aku tinggalkan maka saya akan mati sebab kebutuhannya tidak tercukupi.
D.    ANALISIS
Secara teori Kognisi sangat berperan dalam Perkembangan Reliositas Anak, dimana anak mampu menyerap dan mengamati pengetahuan dan pengalaman dari luar individu, terutama pendidikan dari kedua orang tua. Rasa agama apabila pada usia dini sudah mulai ditanamkan maka akan melekat pada diri seorang anak dan akan tertanam sampai melewati masa remaja, dimana masa remaja sangat rentan dengan hal-hal yang bersifat negatif, namun tidak jarang juga rasa agama mulai berkembang pada saat menginjak masa remaja dan hasilnya pun mungkin tidak jauh berbeda dengan anak yang sudah ditanamkan rasa agama sejak dini, akan tetapi tidak selamanya seorang anak waktu kecil sudah tertanam rasa agama akan lolos beggitu saja melewati masa remaja. Seperti pengalaman yang telah saya alami pada waktu kecil orang tua serta lingkungan sosial lainnya sangat berperan aktif dalam mencetak kepribadian saya agar menjadi anak yang taat beribadah, usahannya untuk mendidik agar menjadi anak yang taat beribadah berhasil pasalnya saya dapat mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tua. Akan tetapi ketika sudah mengenal dunia luar dalam artian sudah mampu berinteraksi dengan teman yang banyak dan jaringannya pun sudah semakin luas bukan hanya sekedar lingkup keluarga tapi juga teman komplek sekitar yang notabennya kurang berpengetahuan agama sehingga rasa agama yang telah ditanamkan oleh kedua orang tua saya mulai terkikis karena akibat dari pergaulan yang kurang terkontrol sehingga jarang melaksanakan sholat. Kenapa hal ini dapat terjadi?  Secara teori Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak. Pada kasusu diatas perhatian kedua orang tua kepada anak pada masa mulai menginjak remaja perhatiannya kurang serius sehingga dengan mudahnya saya sering keluar untuk bermain dan waktu sering tidak terkontrol yang mengakibatkan jarang melaksanakan sholat lima waktu. Disinilah peran orang tua dan keadaan sosial sekitar sangat memberikan kontribusi terhadap perkembangan religiositas anak mulai dari usia dini sampai dengan melewati masa remaja agar terciptanya kepribadian anak yang matang.
Masa remaja merupakan masa-masa pencarian jatidiri, dalam proses pencarian jati diri ini peran dan bimbingan orang tua sangat diperlukan sehingga seorang individu dapat menemukan hal-hal positif dalam dirinya, seorang individu dapat bersikap buruk merupakan akibat dari pada proses pencarian jati diri yang tidak sempurna. Rasa agama yang telah ditanammkan sejak dini jika pada fase ini kurang perhatian dan bimbingan dari kedua orang tua dan orang sekitarnya  maka  pengalaman beragama yang telah dibangun sejak dini akan terkikis dan bahkan akan hilang, seperti pengalaman yang telah saya ungkapkan bahwa pada masa pencarian jati diri keadaan psikis  labil sehingga terpengaruh dengan lingkungan yang kurang taat beragama sehingga saya terjerumus pada hal-hal yang negatif dan konsekwensinya sering meninggalkan sholat. Akan tetapi ketika dalam proses pencarian jatidiri seorang dapat diarahkan dan diperhatikan secara khusus dari orang tua serta orang lain disekitar maka individu tersebut akan menemukan hal-hal positif dalam dirinya dan rasa agama yang telah ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya akan bergerak dan mampu membangun kepribdian anak yang matang.
Selain peran orang tua dalam mendidik rasa agama faktor lingkungan dan teman sebaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan religiositas anak. Pasalnya kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah sangat besar, yaitu dengan kelompok kawan sepermaian dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui interaksi sosial anak akan mengetahui apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standard nilai religiositas dalam keluarga diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Selanjutnya bisa juga melalui interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya. Benar teori yang dikatakan hurlock bahwasannya teman dan keadaan sosial anak sangat mempengaruhi perkembangan religiositas anak pasalnya dari kasus diatas anak hampir melenceng dari peraturan agama dikarenakan terpengaruhi oleh teman sebayanya yang backgroundnya kurang taat beragama, begitu juga saat anak tersebut berteman pada salah satu temmannya yang notabennya taat beragama, anak tersebut dapat kembali lagi ke jalan agama karena mendapat motivasi dari temannya tersebut.


E.     KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dipaparkan penulis diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan pada usia anak mempunyai peran yang sangat penting karena dalam perkembangan tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi perhatian dan kesangguan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa.
Jadi bila melihat teori yang dipakai oleh sang pemakalah dalam penerapan nilai-nilai agama dalam diri seorang anak  harus lebih di tekankan kepada peran kedua orang tua. Orang tua harus lebih berperan dalam perkembangan rasa keberagaman, karena di dalam diri seorang anak mereka anak mentaati apa yang di perintahkan oleh kedua orang tuanya, dalam hal ini orang tua mempunyai otoritas dalam membentuk religiositas seorang anak. Dalam usia ini ketergantungan kepada kedua orang tua masih tinggi, jadi apa saja yang orang tua perintahkan atau yang ia bilang akan di ikuti oleh anak.
F.     DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elisabeth B. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga
Drajat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta :Bulan Bintang
Surunin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




[1] Clark, 1958, hlm. 85.
[2] Clark, 1958, hlm 87
[3] Clark, 1958, hal.90
[4] Hurlock, 1978, hlm 389.
[5] Iqro’ adalah buku cara cepat membaca alqur’an yang terdiri dari juz 1-6



Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 3:49 pm Kategori:

Comments
0 Comments

0 comments: