Rouf 'Azmi UIN Sunan Kalijaga memiliki satu lagi Profesor peneliti | Kumpulan Makalah Perkuliahan

Monday 6 February 2012

UIN Sunan Kalijaga memiliki satu lagi Profesor peneliti



UIN Sunan Kalijaga memiliki satu lagi Profesor peneliti. Dia adalah Prof. Koeswinarno. Dia dikukuhkan menjadi Profesor Riset, di Aula Kemenag RI, beberapa waktu yang lalu, setelah dirinya menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Konflik Sosial dalam Kehidupan Waria Muslim-Sebuah Perspektif Antropologi”, di hadapan Majelis Pengukuhan Profesor yang diketuai Kepala LIPI Prof. Dr. Lukman Hakim dan dihadiri menteri Agama RI, Surya Dharma Ali. 
Dalam orasinya di hadapan majelis, Prof. koeswinarno mengungkapkan, serangkaian konflik yang dialami kaum waria di berbagai tempat di Indonesia, tidak lepas dari sebuah tatanan politik dan demokratisasi yang semakin terbuka. Keberanian waria dalam berekspresi dan pada saat yang sama terjadi tekanan massif yang dilakukan terhadap kaum waria, merupakan sebuah konstruksi sosial politik terkini dari wajah keretbukaan di Indonesia.


Selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan etnis, perbedaan politis dan kehadiran waria bukan hal yang penting pada masa lalu. Tetapi kemudian dihadirkan kembali pada masa kini dengan tingkat kompleksitas permasalahan yang semakin tinggi. Untuk menghatasi setiap permasalahan waria yang telah dianggap sebagai problem sosial, menurut Koeswinarno, tidak dapat diselesaikan hanya dengan peraturan normatif, seperti fatwa, undang-undang atau pelarangan pelarangan yang lainnya.


Karena dalam Islampun posisi waria masih ambigu dan mengalami perdebatan, yang memerlukan pemikiran komprehenship. Koeswinarno menyatakan, sebagai makhluk sosial, kedudukan waria sejajar dengan manusia lain. Kecuali ketakwaannya kepada Allah. Ia kemudian mengutip hadis riwayat Abu Dawud yang menyebutkan, pada jaman Nabi Muhammad SAW, pernah muncul kaum waria, kemudian mereka diasingkan ke Kota Naqi. Dan pada Hari Jum’at mereka diperbolehkan masuk ke kota untuk mencari nafkah. Ketika seorang sahabat nabi bertanta; apakah boleh kaum waria dubunuh, Nabi melarangnya jika mereka melakukan salat. Maka untuk memahami waria, ujar Koeswinarno, diperlukan dua pemahaman penting, yakni; pemahaman persoalan sosial dan syari’ah. Sehingga diperoleh penyelesaian secara komprehensif.


Putra kelahiran Yogyakarta 1 Desember 1963 yang telah memperistri Endah Susilandari, M. Si., dan telah dikaruniai 2 orang anak, masing masing Reza Pramasta Gegana dan Faisal Adhitya Dirgantara ini memaparkan, sebagai makhluk Tuhan, waria juga memiliki hak untuk melakukan interpretasi agama. Tidak ada seorangpun yang ingin hidup sebagai waria. Kalaupun kemudia terperangkap sebagai waria, tidak berarti hak hak dan kewajiban keagamaan mereka terhapus.


Disamping menjadi indikasi kesadaran religius, munculnya aktivitas keberagamaan kaum waria di Jogja ternyata menjadi salah satu alat penting untuk memperjuangkan eksistensi mereka yang masih termarginalkan. Pada tahun tahun 1970-1990-an, kaum waria memperjuangan eksistensinya dengan berbagai strategi sosial, diantaranya ; melalui kegiatan berkesenian, olahraga dan organisasi.


Di beberapa kota seperti Surabaya, Malang dan Jakarta, kaum waria teleh memiliki kegiatan keagamaan yang relative mapan. Bahkan kegiatan-kegiatan tersebut telah diwadahi dalam sebuah yayasan, ujar Koeswinarno seraya menyebutkan, masyarakat memang telah terlanjur menstereotipkan waria dengan jalanan, sehingga ketika ditemui ada aktifitas religius pada diri mereka, masyarakat masih cenderung bersikap sinis, meski sebagian masyarakat lainnya merespon positis, kata Koeswinarno.


Dalam sambutannya terhadap orasi ilmiah pengukuhan Koeswinarno sebagai profesor riset itu, Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali menjelaskan, Pemerintah tak akan melegitimasi perkawinan sejenis, baik oleh waria, lesbian atau gay. “Kita tidak akan toleransi dan benarkan,” kata Surya Dharma Ali. Sikap tegas itu diambil, kata Menag, karena perkawinan sejenis bertentangan dengan ajaran agama manapun. Agama tidak hanya menentang penyimpangan perilaku seksual, tetapi juga mencegah agar penyimpangan tersebut tidak terjadi lagi dan semakin berkembang. Larangan berperilaku layaknya laki-laki atau perempuan merupakan bentuk pencegahan terjadinya penyimpangan itu, kata Menag.


Menurut Menag, keberadaan waria mengindikasikan kegagalan keluarga sebagai institusi pendidikan anak. Dalam hal ini, pola asuh anak yang baik gagal diterapkan dalam keluarga. Sisi inilah yang menjadi tantangan semua pihak, termasuk kementerian agama. “Dalam gerakan pengembangan keluarga sakinah, fungsi keluarga harus terwujud,”kata Surya Dharma Ali.


Koeswinarno, kelahiran Yogyakarta, 1 Desember 1963. Alumni SD Jetis 1 Yogyakarta, SMPN dan SMUN 6 Yogyakarta, memperoleh gelar S1 dari komunikasi Undip. Kemudian Magister Antropologi dan Doktor Antropologi UGM. Ia mengajar di sekolah Tinggi Multimedia Yogyakarta, Universitas Slamet Riyadi Surakarta, UIN Sunan Kalijaga dan Peneliti di Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga. Selain merupakan Profesor Riset ke 336 di Indonesia, dia merupakan Profesor Riset ke 9 di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Tag : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ditulis Oleh : Abdur Rouf Hari: 7:27 am Kategori:

Comments
0 Comments