KEMBALI KE PARAGRAF SEBELUMNYA: Klik Disini
1. Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap yang menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri.
2. Terkenal sebagai orang yang tidaak sportif.
3. Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapian.
4. Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, menggagngu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana.
5. Kurangnya kematangan, terutama kelihatan dalam hal pengendalia emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaa.
6. Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.
7. Status sosioekonomis di bawah status sosioekonomis kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-angota keluarga.
8. Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan.
Selain dari kondisi-kondisi yang menyebabkan diterima atau tidaknya siswa dalam kelompok sosial, faktor yang lain dapat juga dilihat dari kondisi-kondisi yang mempengaruhi konsep diri siswa, sebagai berikut:
a. Usia kematangan. Remaja kematangan lebih awal, yang diperlakuka seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.
b. Penampilan diri, Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.
c. Nama dan julukan, Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.
d. Hubungan keluarga, Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk jenis seksnya.
e. Teman-teman sebaya, Teman-teman mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.[6]
3. PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI KONFLIK SOSIAL
Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya (kognitif), nilai dan sikapnya (afektif), serta keterampilannya (psikomotorik). Dalam hal ini pendidikan bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian manusia.
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup 3 dasar pendidikan (tri dharma pendidikan) yakni, pertama kegiatan mendidik dan mengajar, kedua kegiatan penelitian dan ketiga pengabdian pada masyarakat. Istilah mendidik dan mengajar menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pembentukan watak dalam mengembangkan budi pekerti hati nurani kecintaan, rasa kesusilaan dan lain-lain serta memberi ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia. Kegiatan penelitian merupakan aplikasi dari pengetahuan yang didapat peserta didik untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar lingkungannya sehingga akan terjadi sesuatu pembiasaan dalam bertindak. Pengabdian dalam masyarakat adalah hal yang paling penting dalam transformasi nilai pendidikan sehingga pendidikan bisa berfungsi untuk menyelesaikan persoalan hidup bagi masyaraka yang lebih baik.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami masalah sosial.
Untuk mendapatkan solusi secara tepat atas permasalahan sosialnya, guru harus terlebih dahulu melakukan identifikasi dalam upaya mengenali gejala-gejala secara cermat terhadap fenomena-fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya permasalahan sosial yang melanda siswa. Diagnosis dilakukan untuk mengetahui dan menetapkan jenis masalah yang dihadapi klien lalu menentukan jenis bimbingan yang akan diberikan. Dalam melakukan diagnostik masalah sosial siswa perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengenal peserta didik yang mengalami masalah sosial
Dalam mengenali peserta didik yang mengalami masalah sosial, cara yang paling mudah adalah dengan melaksanakan sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data terntang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam suatu kelompok. Sehingga, akan tergambar siswa yang mengalami masalah sosial.
b. Memahami sifat dan jenis masalah sosial
Langkah kedua dari diagnosis masalah sosial ini mencari dalam hubungan apa saja peserta didik mengalami masalah sosial. Dalam hal ini guru pembimbing memperhatikan bagaimana perilaku siswa dalam pergaulan, baik di sekolah, rumah dan masyarakat.
c. Menetapkan latar belakang masalah sosial
Langkah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang yang menjadi sebab timbulnya masalah sosial yang dialami siswa. Cara ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku siswa yang bersangkutan, selanjutnya dilakukan wawancara dengan guru, wali kelas, orang tua dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan informasi yang luas dan jelas.
d. Menetapkan usaha-usaha bantuan
Setelah diketahui sifat dan jenis masalah sosial serta latar belakangnya, maka langkah selanjutnya ialah menetapkan beberapa kemungkinan tindakan-tindakan usaha bantuan yang akan diberikan, berdasarkan data yang diperoleh.
e. Pelaksanaan bantuan
Langkah ini merupakan pelaksanaan dari langkah sebelumnya, yakni melaksanakan kemungkinan usaha bantuan. Pemberian bantuan dilaksanakan secara terus menerus dan terarah dengan disertai penilaian yang tepat sampai pada saat yang diperkirakan. Bantuan untuk mengentaskan masalah sosial terutama menekankan akan penerimaan sosial dengan mengurangi hambatan-hambatan yang menjadi latar belakangnya. Pemberian bantuan ini bisa dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang memanfaatkan dinamikan kelompok.
f. Tindak lanjut
Tujuan langkah ini ialah untuk menilai sejauh manakah tindakan pemberian bantuan telah mencapai bantuan telah mencapai hasil yang diharapkan. Tindak lanjut dilakukan secara terus menerus, baik selama, maupun sesudah pemberian bantuan. Dengan langkah ini dapat diketahui keberhasilannya.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Pendidikan sangat berpengaruh dalam mengatasai suatu konflik social dalam kelas, trutama peran seorang guru. Dalam masalah sosial, guru pembimbing sangat dibutuhkan dalam menangani masalah ini. Dengan cara mendiagnosis masalah sosial siswa, diagnosis dilakukan dalam rangka memberikan solusi terhadap siswa yang mengalami masalah sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Damsar, 2011, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana
Dr. H. Syamsu yusuf LN., M.Pd., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, Rosda 2004,
Elizabeth B. hurlock, Op. Cit
http://alpangeano.wordpress.com/2011/11/03/penanganan-kasus-terhadap-sisawa-yang-mengalami-masalah-sosial/ (diunduh tanggal 19 November 2012)
Soerdjjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001, h. 399
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
[1] Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
[2] Damsar, 2011, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, hal. 9
[4] Dr. H. Syamsu yusuf LN., M.Pd., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, Rosda 2004, h. 73
[6] Ibid, hal. 235
[7] http://alpangeano.wordpress.com/2011/11/03/penanganan-kasus-terhadap-sisawa-yang-mengalami-masalah-sosial/ (diunduh tanggal 19 November 2012)