BAB I
PENDAHULUAN
A. Riwayat
Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa
Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada
tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan
dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan
tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
Pendidikan
pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an, dan berkat otaknya
yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia
12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim ayahnya ke perguruan
agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistim
pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk
menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang
merupakan seseorang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Berkat
bimbingan dari Syekh Darwisy, Abduh muda mulai tertarik mengkaji disiplin
keislaman. Pengalamannya bersama Syeikh Darwisy amat mengesankan bagi Abduh,
sehingga kecintaannya pada ilmu pengetahuan mulai berkembang. Akhirnya iapun
kembali belajar di Thanta. Selanjutnya mulai tahun 1866, Muhammad Abduh melanjutkan
studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya
pada tahun 1877 dengan mendapat gelar kesarjanaan ‘alim, prestsi ini memberinya hak untuk mengajar di Universitas ini.
Ketika
menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang
ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany,
dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al
Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern
yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan
cara-cara berfikir yang fanatik. Tidak hanya itu Afghani juga menyadarkan
situasi politik yang tengah dialami ummat Islam.
Udara baru
yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan
mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir
Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum
rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan
madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan
jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid
kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan
hanya berpegang kepada dalil yang ada"
B. Sejarah
Perjuangan dan Kehidupan Politik
Setelah
Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana
Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas Darul
Ulum dan Universitas al Azhar. Dalam memangku jabatannya itu, ia terus
mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia menggugat model lama dalam
bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan sebagaimana yang
dialaminya sewaktu belajar di masjid al-Ahmadi dan di al Azhar. Dia menghendaki
adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap
ilmu-ilmu modern dan membuang cara-cara lama yang kolot dan fanatik Sebagai
murid Jamaluddin al-Afghani, maka pikiran politiknya pun sangat dekat
dengannya. Al Afghanyadalah seorang revolusioner yang secara serius memandang
penting bangkitnya bangsa-bangsa timur guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun
1879, pemerintahan Mesir berganti dengan turunnya Chedive Ismail dan digantikan
puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat kolot dan reaksioner
sehingga berdampak pada dipecatnya Abduh dari jabatannya dan diusirnya al
Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun berikutnya Abduh kembali mendapatkan
tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al Wakai' al
Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi hatinya
dalam bentuk artikel-artikel serta pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan
dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun
1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil dalam
pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat
kesempatan untuk mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu
tahun.
Pada
permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghany yang pada
waktu itu telah berada disana. Bersama al Afghany, disusunlah sebuah gerakan
untuk memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al
'Urwatul Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah
pula sebuah majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara
kebebasan yang ditiupkan al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menggema ke
seluruh dunia dan memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat
Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum imperialis merasa
khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggris melarang majalah
tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.
Pada akhir
tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis
melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh
diperbolehkan kembali ke Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke
Eropa.
Setelah
kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir.
Ia juga membuat perbaikan-perbaikan di Universitas al Azhar. Puncaknya, pada
tanggal 3 Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk
menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir. Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk
kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat Islam.
C. Manhaj
Pemikiran keagamaannya
Islam adalah
agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan, satu dengan
yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum Islam), dan Akhlak
(tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis memilih hanya membahas sedikit
manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang
mungkin paling mempengaruhi seseorang dalam bertindak.
Dalam salah
satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang
pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti
dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui
dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya
telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum
muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang
telah disepakati (mujma’ ‘alaĆ®hi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan
lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh
bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas
oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di
dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah,
maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas.
Disinilah
peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh
yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash
yang tidak pasti tersebut.
Abduh sangat
menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah
orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk
mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan
yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak
selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana
adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat
berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan
kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal
adalah kemustahilan.
Menurutnya,
setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu
sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang
harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber
asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat
Islam - sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam
masyarakat Islam- yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia
berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung
kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena
kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum
di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan
laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama
terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang
belum ada hukumnya, tetapi juga juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad
terdahulu.
Bagi
kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat
orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan
ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh
orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak
mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam
akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat
didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu.
Menurut
Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan
pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid
tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid
tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang
mereka tempuh dalam beristinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab
bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang
berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul
Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.
Maka
fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan
sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di
masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad
yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam.
Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan
muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa
dihindarkan.
Abduh
menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu
pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas
hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan
segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak
bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang
bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab
al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang
membawa kitab tersebut.
Oleh karena
itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as
Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan
intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau
membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid
kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat
at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh
kejayaan.
Tantangannya
yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan
teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah
akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut.
Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal.
Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran
orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut.
Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad.
Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.
Di samping
itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab
tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang
menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatan taklid
dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami
sesuatuTampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bisa diterapkan di
kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum
muslimin dengan lebi baik.
D. Pemikiran Pembaruan Dalam Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui
pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan
masyarakat Mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam
mencetak muslim yang shaleh. Pemikiran dibidang pendidikan dan pengajaran umum:
1.
Perlawanan terhadap taqlid dan
kemadzhaban.
2.
Perlawanan terhadap buku yang
tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan
historis.
3.
Reformasi al-Ahzar yang merupakan
jantung umat Islam. Jika ia rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka
baik pula umat Islam.
4.
Menghidupkan kembali buku-buku lama
untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan
mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sebagai
konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan
mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula mementingkan soal
pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan
modern diajarkan disamping ilmu agama. Pogram yang diajukannya sebagai pondasi
utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan
kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh
misionaris asing dan yang didirikan oleh pemerintah. Katanya di sekolah asing,
siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, siswa tidak
diajar agama sama sekali.
Abduh
memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencangkup
pendidikan univerrsal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuannya
harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.
Semuanya harus mendapat pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan
menyoroti perbedaan Islam-Kristen.
Abduh
berpendapat, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar,
agar ulama’-ulama’ Islam mengerti kebudayaan modern dan demikian dapat mencari
penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul pada zaman modern
ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di al-Ahzar akan mempunyai pengaruh
yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam. Al-Ahzar memang universitas agama
Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh dunia Islam. Dari semua penjuru
Islam semua orang pergi belajar disana. Ulama-ulama yang dilahirkan dari
universitas ini akan tersebar keseluruh penjuru dunia Islam dan akan membawa
ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam. Usaha-usahanya dalam pembaharuan di
Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat
melihat faedah perubahan-perubahan yang dianjurkan.
1.
Kurikulum Menurut Muhammad Abduh
a)
Kurikulum sekolah tingkat dasar
Isi dan lama
pendidikan harus beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki
pelajar. Abduh percaya bahwa anak tukang kayu dan petani harus mendapat
pendidikan minimum agar dapat meneruskan jejak ayahnya. Kurikulum sekolah ini
harus meliputi buku ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran sunni dan
tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian, teks ringkasanyang memaparkan secara
garis besar pondasi kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar
dan mana yang salah, dan teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan
sahabat dan sebab-sebab kejayaan Islam.
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar meliputi: membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama, pelajaran Akhlak. Muhammad Imarah dalam pemikirannya menambahkan bahwa pelajaran agama di sekolah dasar menurut Muhammad Abduh meliputi :
Lanjut Baca: Klik Disini
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar meliputi: membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama, pelajaran Akhlak. Muhammad Imarah dalam pemikirannya menambahkan bahwa pelajaran agama di sekolah dasar menurut Muhammad Abduh meliputi :
Lanjut Baca: Klik Disini